21+
Aku menyiapkan makan malamku sendiri. Sepiring nasi goreng dengan bumbu terbatas yang ada dikulkas akan menjadi makan malamku. Hari ini aku sangat lelah karena mengejar laporan perencanaan untuk tender besar bulan depan. Waktu yang mepet mengingat nama dua perusahaan raksasa ini dipertaruhkan.
Sebagai team perencanaan tentunya ini bukan hal yang mudah. Tenaga dan pikiran harus sejalan. Dan sudah dari 2 minggu ini aku lembur sampai tengah malam. Belum lagi nanti pagi-pagi buta aku harus bangun bersiap ke kantor. Doaku hanya jangan sampai tubuhku ambruk disaat-saat ini.
Aku membawa sepiring nasi goreng ke ruang santai. Menyalakan Netflix untuk menemani malam yang mendung. Sebuah film tentang pernikahan menjadi teman untuk makan malamku.
Aku menikmati bagaimana akting Rosamund Pike yang begitu apik memainkan tokoh Amy Dunne. Perempuan itu sangat cantik dengan kemampuan akting yang luar biasa. Aku menikmati alur film. Selesai nasi gorengku habis, aku memilih sebotol wine untuk menemaniku sambil menunggu film habis.
Di pertengahan film, pintu apartement terbuka. Aku menoleh mendapati pria berumur 30an itu melangkah santai duduk di sampingku. Tangannya dengan lancang mengambil alih gelas wine yang aku pegang.
"Heavy day?" Tanyanya setelah menyesap wine.
"Tidak." Jawabku sekenanya.
Dia terkekeh pelan, "Ayolah, seorang Andara tidak pernah lari ke botol wine saat tidak ada masalah sedikitpun."
Aku terdiam mencoba fokus ke dalam alur film. Kedatangan pria tidak diundang itu memang menyesatkan.
"Andara..." Panggilnya sambil menatap wajahku dari samping. Aku masih diam ditempatku sampai dia menghela nafas, "Sayang..."
"Jangan, Ram. Jangan berani kamu panggil aku begitu." Larangku keras.
Dulu mungkin aku akan menghangat dan berdebar saat dia memanggilku seperti itu. Tapi itu dulu. Dulu sebelum dia mematahkan kepercayaanku. Sebelum dia menuangkan racun diharapan yang aku punya.
"Maaf." Ucapnya lirih. Dia menaruh gelas dan meraih botol wine diatas meja. Dengan rakus dia menenggak wine langsung dari botolnya. Hanya dengan sebentar isi botol itu tinggal sedikit.
"Maafkan aku, Andara!" Dia bertumpu di kedua pahanya sambil meremas rambut hitam yang tadinya ditata rapih. "Aku tidak bermaksud menyakitimu..." Dia mendesah.
Aku hanya mampu tersenyum miris dan beranjak dari sofa panjang itu. Tanpa mematikan TV aku langsung menuju ke pintu kamar.
"Andara..." Rama ikut berdiri dan memanggilku. "Andara, mari kita bicarakan." Pintanya mulai mengikutiku dari belakang.
"Tidak ada pembicaraan, Ram. Kamu lebih baik pulang." Datarku membuka pintu kamar.
Rama masih mengikutiku dengan deru nafasnya yang memburu. Dia mulai sulit mengendalikan emosinya. Aku paham betul sifatnya. Dengan kasar dia membanting pintu kamarku tapi itu tidak menciutkan nyaliku.
Aku meliriknya dan mulai membuka pakaian kantorku, "keluar. Aku mau mandi."
"Kita perlu bicara. Ini sudah 3 bulan lebih, Sayang." Dia memohon kepadaku tapi semua sudah terlambat. "Andara... Please..."
Aku sudah meloloskan seluruh pakaianku dan berdiri menghadapnya, "Sekali lagi, tidak ada yang perlu dibicarakan. Semua sudah jelas. Tolong kamu keluar dan jangan pernah datang lagi. Status kita jelas. Atasan dan karyawan." Tekanku saat mengingatkan posisi dirinya dan diriku.
Matanya menatapku tajam dengan kobaran emosi yang tidak tertutupi. Bahunya tegak dibantu tubuh tingginya yang luar biasa. Kalau tidak salah ingat saat aku mengukurnya dulu adalah 184cm.