Roses In A Glass Vase

18.2K 1.5K 65
                                    


Halimah

"Kamu nggak tau rasanya." Ucapku sambil menaruh setangkai mawar layu ke dalam gelas bening yang sudah terisi air.

"Maafkan aku."

"Aku udah maafin kamu. Sekarang kamu bisa pergi." Mataku melirik sejenak pada lelaki tinggi yang bahkan harus menunduk sedikit untuk melewati pintu masuk rumah kecilku.

Dua tahun lalu, lelaki itu lebih bugar dan berisi. Tidak seperti sekarang. Dia terlalu kurus dengan aura yang kelam.

"Aku mau memulai semuanya dari awal... beri aku kesempatan."

Aku menggeleng kecil. Dalam hati mendesah panjang. Andai saja semudah membalikan tangan untuk memberikan kesempatan lagi padanya.

"Gelas yang pecah... mau kamu perbaiki seperti apapun. Retakannya tetap akan ada." Kataku pelan sambil memandangi lekat pada gelas yang beralih fungsi menjadi vas bunga ini. "Aku udah pernah menjadi gelas yang sebaik mungkin menampung air. Sampai akhirnya pecah berserakan." Nafasku terhela lirih. "Sedangkan kamu nggak pernah."

Hamdan terisak, akhir-akhir ini sepertinya aku harus terbiasa pada tangisan mendadaknya.

Melihat wajah frustasinya, aku tahu semua rasa sedih itu berada dari hatinya. Tapi, tiap melihatnya seperti, tak ada rasa iba yang muncul dari hatiku sendiri.

Rasanya kosong.

Hampa.

Dan gelap.

Aku sudah tidak bisa merasakannya lagi.

"Aku mohon... kali ini aja. Sekali aja, Hali..." pintanya dengan suara parau yang berat.

Lagi, aku menghela nafas panjang. Kembali meliriknya yang sudah berlutut di ruang tamu kecilku.

Aku menggeleng kecil. "Aku harus ke toko hari ini."

"Hali—"

"Hamdan, kamu harus yakin seperti aku."

Dia menggeleng keras. "Nggak!"

Tubuhku bangkit, berjalan pelan mendekatinya yang sudah bersimbah air mata.

Memandang seorang Hamda yang lemah tak berdaya seperti hal baru. Aku tak  terbiasa dengan pemandangan ini.

Maka dari itu, hanya senyuman tipis yang bisa aku sematkan.

"Kalo aku bisa. Kamu juga harus bisa."

"Aku nggak bisa, Hali... aku nggak bisa..." isaknya.

Aku tak menanggapinya lagi, lebih baik aku bersiap untuk pergi ke toko. Akhir-akhir ini toko cukup ramai karena cuaca yang tak menentu menyebabkan kondisi tubuh melemah dan banyak orang sakit mencari obat. Sedikit lagi jam buka toko akan dimulai dan aku tak punya waktu untuk meladeni Hamdan.

"Aku harus pergi." Kataku sambil menenteng kunci rumah. Tak mungkin aku membiarkannya tetap berada di sini.

Dia menggeleng kaku. "Aku nggak akan pergi."

"Kamu harus pergi. Aku mulai nggak nyaman sama tetangga yang tau kamu ke sini hampir setiap hari."

"Aku akan selalu ke sini!" Kerasnya.

"Kamu nggak bisa begini terus." Keluhku.

Dia mengangkat wajahnya dengan mata merah dan berair. Sekarang aku mulai iba. Iba pada wajah tampan yang pernah menghiasi hariku sudah berubah begitu buruk rupa tak terawat.

"Kalo begitu kembali padaku, Hali. Aku mohon..."

"Kamu masih nggak ngerti terus." Gumamku pelan.

"Karena aku menyesal." Balasnya begitu liris dan tersiksa.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang