Dia bilang akan terus menggenggam tanganku sampai nafas terakhirnya. Tapi, pada akhirnya dengan mudah tangan ini dilepasnya. Meski aku tahu dia tak bermaksud demikian.Aku tahu ini berat untuknya. Bersamaku sama saja memikul batu besar panas dipundaknya. Sedangkan aku tak bisa membiarkan dia harus kesakitan seperti itu.
Aku tidak menangis saat tahu ini akhir perjalanan sepuluh tahun bersamanya. Aku melepaskannya dengan senyuman terbaikku selama ini, melihat dia berbalik dan tak akan pernah kembali lagi padaku.
Mengikuti perintah orangtua adalah satu hal wajib. Tak boleh membantah karena ada bakti yang harus dijalankan. Belum lagi, di saat aku tak memiliki kekuatan apapun untuk melawan kekuasaan Bapak.
Dengan tubuh pasrah dan hati yang merintih, aku mengikuti keinginan Bapak untuk menikah dengan lelaki pilihannya.
Pesta mewah dan ribuan tamu datang memberi selamat serta doa. Aku berdiri layaknya robot yang diprogram untuk tersenyum bahagia pada tiap orang yang datang.
Disebelahku, lelaki pilihan kedua orangtuaku sama halnya sepertiku. Kami berdua adalah boneka yang memiliki kewajiban untuk menurut. Terjebak dalam kubus tanpa jalan keluar. Dan akhirnya hanya bisa mengangguk tanpa wajah merengut.
Tapi, sepertinya Tuhan memang senang membuat hati ini terombang-ambing layaknya kayu di atas lautan.
Setahun menikah dengan Sudam, di dalam pernikahan dingin ini aku bertemu lagi dengan dirinya.
Tak ada hujan dan angin, semua terjadi begitu saja. Pertemuanku dengannya tanpa rencana, memang sudah diatur tanpa kehendak kami berdua.
"Apa kabar?"
Saat Karis menyapaku dan masih mau bertanya kabarku perempuan yang tak bisa memilihnya ini, detak jantungku seakan hidup kembali.
Setahun harus patuh dan pasrah dibawah kukungan tubuh orang lain pada malam-malam sepi, akhirnya aku merasakan hangat dan debuman menyenangkan ini lagi.
Sejak hari itu, layaknya air mengalir, kedekatan kami kembali terajut. Aku tahu kesalahanku membiarkan hati ini kembali hidup untuknya di saat statusku dengan jelas melingkar di jari manisku.
Setiap pagi bangun dari tidurku, dengan tubuh lengket sisa semalam, aku akan bersiap dengan pakaian kerjaku, pergi ke rumah sakit dengan hati berbunga-bunga. Melihatnya dengan pakaian kerja yang sama sepertiku, menatap pada senyum indahnya dan tawa hangatnya.
Layaknya remaja, aku kembali jatuh cinta padanya. Atau memang aku selalu jatuh cinta padanya.
Kelegaan di dalam hatiku adalah dia sama merasakan ini semua. Aku tak pernah sendirian jika ini tentang perasaan yang ada diantara kami berdua.
Aku terbuai pada waktu yang selalu kami habiskan bersama. Membuatku pandai berbohong dan berkilat di depan Sudam, suamiku.
Rasa bersalah yang pernah ada meluruh saat aku tahu, pernikahan ini sudah tak benar sejak awal. Bukan hanya aku yang membagi hati dan tak mengingat status pernikahan kami.
Sudam sama saja. Dari awal kami menikah pun dia berkata sudah memiliki perempuan yang ia inginkan. Dan dia sama sepertiku, orang yang tak bisa terlepas dari tali yang diikat kedua orangtua kami.
Jadi, aku berpikir, biarlah begini. Aku tahu Sudam bersama yang lain selama ini, dan tak ada salahnya aku juga merasakan hal yang sama.
Setahun sudah terlewati. Aku dan Karis tetap bersama layaknya pasangan pada umumnya meski hubungan ini selalu kami tutupi. Tapi, kami menikmati semuanya.
Karis tak bisa melepaskanku, sekian banyak tahun yang pernah kami habiskan, dia juga tak bisa melepas perasaan rindu dan memilikinya. Sama sepertiku yang selalu menjadikan Karis sebagai pemilik hati ini.