Siapa bilang terlahir dari kalangan old money tandanya akan terus bahagia?Banyak orang berpikir uang adalah segalanya. Uang adalah pemecah masalah. Uang adalah jalan pemulus siapa pun yang ingin berada di depan.
Tapi, banyak orang melupakan, uang tidak bisa memaksa sebuah kebahagiaan.
Seperti Anala, sebanyak apapun uang yang dia miliki di saldo rekeningnya. Masih ada rongga kosong dalam hidupnya. Dia bahagia tapi tidak sepenuhnya. Dirinya belum merasa lengkap.
Dulu, dia pikir dirinya akan baik-baik saja. Dia memiliki kekasih dan kakek nenek yang mencintainya sepenuh hati. Masa remajanya tidak seburuk cerita orang-orang. Dia selalu tersenyum dan merasa penuh cinta.
Anala yang dulu tidak pernah mengambil hati setiap ejekan atau hinaan orang-orang padanya. Dia bahkan tidak repot mencaritahu kenapa orang-orang tidak menyukainya. Selagi dia masih memiliki alasan bahagia, dia tidak akan pernah peduli pada orang lain.
Tapi, sudah jalan hidup Anala harus merasakan sakit terinjak-injak berkali-kali. Hidup mengajarkannya apa itu rasa sakit terlebih dahulu.
Jika dulu Anala kecil tidak pernah merasakan apa itu hangatnya sebuah keluarga dan hanya bisa menangis di dalam kamarnya. Maka Anala remaja sampai sekarang tidak bisa merasakan nyeri haus akan perhatian lagi. Hatinya sekeras batu, telinganya setebal kulit badak, bibirnya serapat pintu besi, dan wajahnya sedingin kutub.
Tapi kembali lagi, dia seorang perempuan. Dia masih bisa menangis saat pertahanannya runtuh.
Anala kecil menangis karena keluarganya.
Anala remaja menangis karena kekasihnya.
Dan Anala dewasa menangis karena tidak bisa menahan semuanya.
Dean meruntuhkan sisa pertahanan Anala. Di saat wanita itu berharap bisa membangun istana hidupnya bersama Dean, lelaki itu menghancurkannya dengan kalimat kejam.
Jika itu orang lain yang mengatakannya, mungkin Anala tidak akan merasakan sakit. Tapi, saat orang yang Anala percaya sebagai alasan dia akan bahagia yang mengatakannya, dia hancur.
Sekarang hanya tersisa seorang Anala yang siap menagih rasa sakit hatinya. Dia menagih rasa malu, sakit, dan perih yang selama ini dia tampung.
Seperti kata Dean semalam, ada harga yang harus dibayar.
Di sinilah Anala sekarang berdiri. Di depan rumah luar biasa megah milik Rudi Mahardika. Pagi-pagi sekali dia meninggalkan Dean yang masih tertidur dengan tubuh telanjang dibalik selimut ranjangnya.
Pakaian formalnya seperti ingin pergi bekerja. Dua tangannya penuh kantong oleh-oleh yang sengaja dia beli untuk kakek dan neneknya.
Mata tajamnya melirik deretan mobil yang ramai terparkir di halaman luas itu. Senyumnya terukir tipis, akan ada pertunjukkan yang menyenangkan akhirnya.
"Akhirnya lo muncul." Suara Ardi dibelakangnya membuat dia menoleh. "Puas lo liburan ninggalin perusahaan terus pulang-pulang bawa drama?" Sinisnya.
Anala hanya menatap datar sepupunya itu lalu pergi masuk ke dalam rumah bersama Tria yang sudah memakirkan mobil.
Ardi menggeram marah karena diabaikan Anala. Dia mulai ikut membenci Anala seperti sepupu-sepupu lainnya semenjak wanita angkuh itu pernah mempermalukannya saat mereka SMA.
Di dalam ruang keluarga Rudi Mahardika, pemandangan langka langsung tersuguhkan. Di sana berkumpul keluarga besar Mahardika walaupun tidak ada Lukman, Desti, dan Inala.
Seluruh mata langsung menatap Anala yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka duduk. Ada Yudi anak ketiga Rudi dan istrinya Vera bersama anak mereka Ardi dan Firda. Anak ketiga Rudi Mahardika yang menetap di Surabaya juga ada di sini, Melisa dan Reinal suaminya, lalu ketiga anaknya Dela, Erlin, dan Aram. Terakhir si bungsu Andriani dan suaminya Tegar hadir bersama dua anaknya Kenu dan Mario.