Hari ini langit mendung kembali, mengingat sudah memasuki musim hujan. Sudah seminggu Jakarta diguyur hujan tanpa henti. Bahkan, beberapa titik daerah mengalami banjir sampai selutut. Ruas jalan juga banyak yang ditutup sampai macet ada di mana-mana.
Aku menatap jam dinding kelas. Masih pukul 1 siang tapi keadaan diluar hampir gelap. Lampu-lampu kelas dan koridor serentak langsung dinyalakan.
Menghela nafas perlahan, aku tidak menyukai musim hujan. Karena takdir burukku seakan terbentuk setiap musim hujan.
Banyak kenangan pahit saat musim hujan melanda. Dan setiap musim hujan aku mempersiapkan diri. Apa lagi yang datang menjadi masalahku.
"Gue udah denger beritanya. Yang sabar ya, Rin?" Bisikan penuh iba itu membuatku menoleh sebentar.
Gendis, teman dekatku di kampus menatapku sedih namun mengepalkan dua tangannya seakan menyemangatiku. Aku tersenyum tipis sambil mengedik bahu.
Sebulan yang lalu, aku diputuskan oleh kekasihku dengan kejam. Saking kejamnya, setiap malam keran air mata akan terbuka. Hanya menangisi dia. Lelaki kejam yang mendepakku dari hidupnya, tapi, aku masih tetap mencintainya.
Tak terasa waktu semakin sore. Langit masih sama gelap seperti siang tadi. Aku berjalan bersama Gendis menuju lahan parkir mobil.
"Lo nggak mau ikut gue aja? Dikit lagi hujan loh. Ini anginnya udah kenceng banget." Bujuk Gendis sekian kalinya.
"Nggak, gue mau cari—"
"Woi pelacur!" Teriakan itu membuatku dan Gendis tersentak.
Seorang lelaki menaiki motor besar berwarna hitam merah melintas dengan tatapan menghina dibalik kaca helmnya yang terbuka. Di belakang lelaki itu ada perempuan cantik yang ikut terkejut oleh teriakan lelaki itu tapi memilih diam saja.
Aku menatap datar dua anak manusia itu yang semakin jauh dari tempatku.
"Arini..." Suara lirih Gendis akhirnya memutuskan pandanganku.
Aku menatap gadis gemuk yang terlihat berkaca-kaca. Dengan lembut aku menyuruhnya pulang dan tidak perlu memikirkan kejadian tadi atau diriku.
Panggilan tadi bukan yang pertama kalinya aku dapatkan. Tapi, rasa sakitnya masih sama seperti pertama kali mendengarnya.
Hanya saja aku tahu diri. Mungkin aku memang pantas menyandang panggilan itu. Mungkin pandangan mereka benar tentangku. Aku tidak bisa menyalahkan. Karena aku tahu apa salahku.
Rencana sepulang kuliah batal karena mood yang sudah hancur. Sore sialku bertambah saat hujan besar mengguyur, sedangkan aku memakai ojek online. Lebih sialnya, ojekku hanya membawa satu jas hujan, katanya jas hujan penumpangnya hanyut sama banjir.
Tanpa mengeluh, aku mengatakan tidak apa kehujanan. Lagi pula aku mau pulang bukan ke tempat pergi lainnya. Sampai rumah aku bisa langsung mandi.
"Kamu hujan-hujanan?" Baru saja aku melangkah masuk pertanyaan itu langsung terlontar. "Udah Bunda bilang kamu bawa kendaraan aja. Lagian, kamu udah bisa bawa mobil kan?"
Dalam hati aku meringis. Sudah hampir setengah tahun ini aku memang lancar menyetir mobil. Hanya saja... aku tidak bisa mengendarai mobilku lagi.
Mobil itu... banyak kenangannya. Kenangan manis yang menyakitkan saat diingat.
Aku hanya bisa tersenyum hambar dan langsung masuk ke dalam kamar. Menghindar dari semua pertanyaan Bunda.
Lagi pula, pertanyaan Bunda bukan sarat akan kepedulian. Itu hanya basa-basi semata saja. Aku mengenal ibuku dengan baik.