Sagara mendengus saat dia melihat Deril mengusap pipi Selena, perempuan itu juga terlihat tak menolak sikap Deril.
Ada rasa jengkel dari hari Sagara.
Harusnya itu dia!
Bukan Deril yang sepertinya memang memiliki hubungan khusus dengan Selena.
Karena dua bulan ini, entah sudah berapa kali dia memergoki kedekatan mereka berdua.
"Apaan sih, Sa!" gerutunya karena terlalu jengkel.
Kalau begini, rencana untuk mendekati Selena seakan percuma. Seperti untuk apa dia kembali ke masa lalu karena rasa bersalahnya pada perempuan itu kalau akhirnya Selena berakhir dengan lelaki lain?
Lagi-lagi dengan kondisi suasana yang memburuk, sikap Sagara kembali ke mode senggol bacok. Feri bahkan kena semprot karena kembali menjahili temannya itu.
Saat matanya mulai perih karena terlalu banyak menatap layar komputer, Sagara memutuskan untuk rehat sejenak. Dia melirik pada jam yang menunjukkan pukul lima sore. Beberapa orang sudah ada yang pulang sedangkan sisanya terlihat masih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Dia menatap salah satu pintu yang tertutup rapat. Tadi, dia melihat Subiyanto selaku atasannya sudah pulang.
Sagara menoleh ke sekitar, tempat Selena masih ada barang-barangnya sedangkan tempat Meredith sudah rapih tanda perempuan itu sudah pulang.
"Ngantuk gue." Gumam Feri masih menatap komputernya sambil menguap.
"Mau kopi?"
"Starbuck? Akhir bulan seret uang gue."
Sagara mendengus. "Kopi yang ada di dapur aja."
"Boleh deh. Jangan pakai gula ya, biar mata gue bisa melek nih."
Sagara hanya mengangguk kecil dan bangkit dari tempatnya.
Dia melewati kubikel Deril, artinya lelaki itu belum juga pulang.
Mengingat Deril, dia terbayang kejadian di parkiran tadi dan rasa jengkel lagi-lagi dia rasakan.
Saat dia baru masuk pintu pantri, Sagara bisa menangkap suara Selena dari dalam.
"Saya udah ikutin mau, Mas Deril."
"Terus kenapa? Kamu pikir saya takut?"
Sagara mengernyit heran. Untuk ukuran orang yang terlihat dekat, pembicaraan dua arah itu terdengar menegangkan. Apa lagi suara Selena seperti ketakutan.
"Saya bisa aja kasih tau yang lain dan dampak ke Mas Deril jadi lebih besar."
Deril tertawa meremehkan. "Mau kasih tau siapa? Meri? Sagara? Yakin mereka bakal percaya kamu?"
"Mereka akan mengus—"
"Sst! Selena, kamu ini anak intern. Artinya kamu ini sementara. Bisa aja saya lempar semua bukti ke kamu. Kamu tau kalo saya bisa ngelakuin itu kan?"
Sagara tertegun. Selama menjadi rekan kerja, Sagara tak tahu Deril bisa mengatakan hal yang begitu mengintimidasi seperti itu.
Setahunya Deril lelaki pendiam, cara bicaranya pun tak pernah seperti ini. Kalau bukan karena suaranya, Sagara tak akan percaya kalau itu adalah Deril.
"Jangan bikin saya jadi tega sama kamu ya."Ancamnya.
Sagara ingin sekali masuk dan langsung mempertanyakan apa maksud dari pembicaraan mereka. Tapi, dia memutar otak. Sebaiknya dia tidak gegabah.
Sagara mundur beberapa langkah mundur, dia berdehem keras sambil berjalan menghentak agar dua orang itu tahu akan ada seseorang yang masuk ke dalam pantri.