Between You and Me (4)

29K 3.4K 246
                                    


Anala duduk di meja makan hotel. Di depannya masih ada pasta yang dia pesan dari room service. Sampai detik ini, belum ada makanan yang masuk ke dalam mulutnya sejak pagi tadi. Hanya bergelas-gelas wine yang menemani hari dia.

Jika dihitung, sudah seminggu Anala berada di Paris. Kegiatannya tidak ada yang istimewa selain pergi-pergi ke teman karyawisata, restoran mewah, toko-toko barang terkenal, atau hanya berjalan di bawah gelap malam mencari cemilan-cemilan.

Pagi tadi, Anala mendapat panggilan dari nomor Jakarta. Nomor yang seumur hidupnya akan muncul tidak lebih dari sepuluh jari. Awalnya, Anala tidak menyangka kalau akan secepat ini Ayahnya akan menelfon.

"Ada apa?" Anala bersender di kepala ranjang melirik jam yang ada di atas nakas.

"Kenapa kamu melakukan itu?"

"Melakukan apa?"

"Apa kamu punya hati Anala? Kamu mau adik kamu jadi gembel aja? Itu yang bikin hidup kamu tenang?"

Anala tersenyum miris.

"Apa Papa punya?" Tanyanya balik dengan tenang.

Terdengar geraman disebrang sana, menandakan Ayahnya sudah berada diujung amarah.

"Kamu udah gila?! Kamu hidup bahagia selama ini dan kamu mau adik kamu menderita?!"

"Apa aku bahagia?" Anala menatap kosong pada tv plasma yang berada di hadapannya.

"Dengar Anala, Papa peringatin kamu jangan main-main sama Papa dan Mama! Papa bisa memutar kehidupan kamu dan Inala kalau Papa mau! Ini yang terakhir kamu ganggu Inala!" Desis Ayahnya dengan nada suara luar biasa dingin.

Setelah itu panggilan dimatikan sepihak. Meninggalkan Anala yang tanpa sadar sudah menangis. Tangannya mencengkram kuat ponsel dan selimut tebal.

"Bu." Suara panggilan itu memutuskan lamunan Anala tentang pagi tadi.

Anala mendongkak mendapati Tria yang berdiri menenteng laptop kebanggaannya. Lelaki itu tampak manis memakai sweater hijau army dan celana pattern. Tidak lupa kacamata bacanya yang menambahkan kesan cupu dan kolot.

"Gimana?"

Tria menarik kursi dihadapan Anala dan langsung membuka laptopnya. Setelah satu menit, dia mendorong laptopnya kearah Anala.

Anala membaca layar datar itu dengan seksama. Sesekali alis rapihnya menukik remeh.

"Tuan Lukman langsung memindahkan Nona Inala beserta suaminya ke rumah duta besar di sana. Nona Inala mendapatkan perlindungan penuh dan kita... agak susah menyentuhnya. Surat kepemilikan apartement sudah diatas namakan nama Bu Ana."

Anala mengangguk sekali sambil menarik gagang gelas tinggi untuk menyesap wine.

"Terus?"

"Nyonya Desti terbang ke Singapura kemarin malam. Dari orang kita memastikan kalo di rumah Pak Beno ada Nyonya Desti dan Nona Inala di sana. Nyonya Desti membelikan tiket ke Amerika untuk tiga orang."

"Inala, Irham dan anaknya." Gumam Anala.

Tria mengangguk membenarkan, "yang saya lakukan selanjutnya cuman menahan surat perizinan aja."

Anala terkekeh pelan. Segitunya kedua orang tua Anala untuk menyelamatkan Inala. Ini sangat luar biasa lucu. Seakan, Anala adalah orang gila yang akan mengancam nyawa putri mereka.

"Kayaknya kita harus buka salah satu kartu kita." Anala menatap Tria sambil tersenyum, membuat lelaki itu menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.

"Yang mana, Bu? Kan banyak..."

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang