Beautiful Pain (5)

14K 2K 542
                                    

Kembali ke rumah orangtuaku, perutku bergejolak hebat. Aku langsung lari ke kamar mandi di mana kamarku berada. Seluruh isi makanan keluar begitu saja ditambah kepala pening luar biasa.

Aku menarik nafas panjang sambil menyeka keringat di kening. Di depan cermin aku melihat bayangan diriku.

Bayang-bayang percakapan dengan Aryo kembali datang. Rasa sakit seperti kerabat baik sejak tahu perselingkuhan suamiku. Meski begitu, semakin lama rasa sakitnya jadi terbiasa.

Aku mencuci wajahku sebelum keluar dari kamar menuju taman belakang.

Sebelum punya rumah, aku dan Aryo tinggal sementara di rumah ini. Awalnya terasa tak enak hati karena masih menumpang. Saat ingin hidup mandiri, kehamilan Dio datang dan membuatku harus lebih lama tinggal dibawah pengawasan Mama.

Di rumah ini aku tumbuh besar. Papa memiliki toko barang-barang kebutuhan olahraga yang sudah memiliki banyak cabang di pulau Jawa. Sedangkan Mama dulunya kerja di Bank. Saat ini mereka sedang menikmati hari tua saja.

"Kak."

Suara Mama terdengar saat aku memasuki dapur.

Aku menghampiri beliau sambil melihat di mana keberadaan Dio.

"Dio di kamar Mama, main sama Papanmu." Ucapnya tahu apa yang aku cari.

"Masak apa, Ma?"

"Bakwan udang. Mau 'kan?"

Aku tertawa kecil. "Apa yang Mama masak aku pasti mau."

Aku membantu Mama memasak. Dari kecil aku memang suka mengintili Mama ke dapur. Sebagian besar keahlianku memasak adalah karena Mama.

Teringat sebelum menikah untuk membujuk atau meminta maaf pada Aryo, aku menggunakan skill memasakku. Memberinya bekal makanan kesukaan Aryo. Dengan cara seperti itu, tidak butuh waktu lama Aryo akan memaafkanku.

"Kamu kenapa?" tanya Mama saat aku termenung melihat makanan di meja makan yang sudah tertata.

Aku menggeleng kecil. "Nggak apa-apa, Ma."

Mama tersenyum lalu pergi lagi ke dapur.

Aku menghela nafas panjang. Memutuskan untuk bicara ke orangtua membutuhkan keberanian. Ini bukan hanya pengaduan kecil namun seperti pengakuan dosa.

Seumur hidup belum pernah membuat mereka kecewa besar. Gagalnya pernikahan ini benar-benar hal yang susah untuk aku ungkapkan.

Waktu sudah terlalu sore, aku menyuruh Rani untuk memandikan Dio.

Aku kembali ke kamar untuk melihat kabar dari Mirna.

Katanya, Aryo sudah dipanggil pihak HRD atas kabar yang sudah beredar di satu kantor. Ini karena beberapa orang mulai mencari-cari tahu latar belakang Aryo serta mengaitkan dengan perusahaannya.

Aku berharap bukan hanya malu yang ia dapatkan.

Setelah itu pesan Givano meminta surat-surat kelengkapan untuk permohonan cerai juga datang. Aku mengingat dokumen pernikahanku ada di rumahku yang artinya aku harus kembali ke rumah itu. Aku harap Aryo lari ke rumah istri mudanya itu daripada nanti kami bertemu lagi.

Aku kembali ke meja makan di mana sudah ada Mama dan Papa menunggu. Kami makan diiringi obrolan singkat. Waktu rasanya berjalan begitu lama karena kegugupanku untuk bicara pada orangtuaku.

"Kamu ada masalah?" Papa membuka suara saat kami sudah kumpul di ruang keluarga.

Aku berdehem. "Ada yang mau aku bicarain sama Mama dan Papa."

"Apa itu?" Mama menatapku penasaran.

"Ran." Panggilku melihat Rani yang duduk di karpet bersama Dio. "Bawa Dio ke kamar dulu."

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang