Dijodohkan? Ogah!Ini zaman modern, bukan waktunya setiap anak perempuan harus ketakutan saat diumur 20-an belum menikah. Hidup masih panjang, pernikahan bukanlah hal yang harus diutamakan dalam mencari kebahagiaan. Untuk apa menikah jika tidak memiliki landasan apapun? Dipaksa untuk percaya oleh pilihan orang tua bukan sesuatu hal yang menjanjikan.
Katanya, cinta datang seiring kebersamaan yang terjalin, tapi tidak ada yang bisa menebak berapa lama cinta itu akan datang. Kalau berhubungan tiap hari dan sering menghabiskan waktu bersama akan menghadirkan perasaan itu, maka seharusnya aku sudah cinta mati sama sahabat kecilku—Fukal. Tapi, kenyataannya? Tidak pernah ada perasaan cinta sebagai lawan jenis kecuali rasa sayang lebih daripada saudara.
Katanya, cinta datang pada pandangan pertama, kalau begitu kenapa sejuta lelaki yang pernah bertatapan langsung denganku tidak menghadirkan getaran yang orang-orang bicarakan? Kenapa senior di kantorku yang paling tampan saat dia menyapaku, aku tidak tersipuh malu dan langsung membayangkan sebuah hubungan dengannya?
Cinta itu hal mudah dihadirkan untuk beberapa orang, dan sebagiannya sama sepertiku. Belum pernah merasakannya.
Gilanya, Bapak dan Ibukku memilih 'perjodohan' untuk kisah cintaku. Aku sampai terbengong-bengong mendengar aduan adikku atas pembicaraan keluarga yang tidak aku hadirin karena lembur di kantor.
"Kak! Bapak sama Ibu minta tolong ke Budeh Irna cariin calon suami. Tadi, Budeh Irna, Budeh Sukma, Pakde Wawan ngobrolin persyaratan calon suami buat Kakak." Remaja 16 tahun itu menceritakan apa yang dia tahu dengan menggebu-gebu.
Aku melotot horror sampai mulutku begitu sakit karena menganga terlalu lebar.
"What?! Sumpah lo?!" Pekikku sambil menarik keras Adikku agar duduk di ranjang.
Dia mengangguk semangat dengan mata yang berapi-api, "Sumpah! Boong di serempet angkot besok!"
"Kok bisa ada kepikiran buat jodohin gue?!"
"Katanya, Kakak nggak pernah dekat sama cowok kecuali Bang Fukal. Terus faktor umur juga katanya. Ibu takut Kakak jadi perawan tua." Jelasnya dengan wajah meyakinkan.
Aku mengusap keningku berkali-kali karena tidak percaya alasan menjodohkanku begitu konyol.
"Perawan tua?" Lirihku tidak percaya, "Gue aja baru 25 tahun seminggu yang lalu!" Geramku.
Niki—Adik perempuanku mengangguk setuju, "Terus Budeh Irna sama Budeh Sukma punya masing-masing calon. Besok mau di inspeksi dulu sama Bapak!"
"Tau dari mana lo?"
"Kan tadi aku makan nila bakar di ruang keluarga, terus aku nguping aja." Polosnya.
Niki memang bisa diandalkan. Dia selalu berada di pihakku suka maupun duka. Seperti ini saja, dia akan menjadi informan terpercaya untukku.
"Sumpah Bapak sama Ibu kesurupan apa mau jodohin gue! Gara-gara Budeh Fatma nih pasti!"
Aku mendesah kesal mengingat saat hari ulang tahunku dirayakan oleh keluarga besar. Bapak dan Ibuku ini asli Jawa. Dan keluarga besarku ini, beberapa diantaranya memiliki mulut luar biasa nyinyir, contoh mutlaknya Budeh Fatma. Wanita yang merupakan Adik Ibuku itu senang merecoki kehidupanku. Waktu itu, dia meledekku di depan keluarga besar. Dia bilang di umur 25 auraku tampak seperti perawan tua—kesepian dan kelam. Sialnya, omongan konyol itu merasuki pikiran Ibuku. Ibuku ini memiliki cerita tidak enak tentang perawan tua. Sahabatnya dulu, katanya memiliki tingkah yang persis sepertiku. Dia cerdas dan ayu, tapi tidak ada satupun laki-laki yang menjadi pasangannya. Sampai Ibu melahirkanku, sahabatnya masih setia sendiri. Sering dicemooh banyak orang jadi menggoyangkan akal sehatnya. Malu dan lelah membuat dia gelap mata untuk bunuh diri. Ibuku takut aku akan bernasib sama seperti sahabatnya.