"Lo perlu makan, Tam." Suara Hadi, tetangga serta teman kecilku tidak membuatku menoleh sedikitpun.Mataku masih tertuju pada wajah pucat yang begitu tenang menutup matanya diatas ranjang rumah sakit. Semakin aku menatapnya, semakin aku menyerapi banyak rasa sakit yang selama ini dia rasakan.
Di depan mataku, Istriku yang selalu tampil bagai bidadari terlihat rapuh saat ini. Rasanya, ingin sekali aku menanggung rasa sakit yang selama ini dia pendam.
Aku terlalu bodoh. Aku suami bajingan. Aku menambah cuka di atas luka hatinya. Sampai akhirnya dia menyerah pada rasa sakit itu.
Beruntungnya aku masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menjaga bidadariku ini. Kata Hadi selaku dokter umum di klinik yang tidak jauh dari komplek rumah kami, telat satu menit saja, Sintia akan pergi selamanya.
Aku mengusap wajahku gusar menahan gejolak pilu yang kembali naik ke permukaan. Penyesalan tiada tepi kini aku rasakan.
Lo brengsek, Tam! Suami nggak guna! Bajingan!
Kata-kata itu berulang kali aku gunakan untuk memaki diriku sendiri.
Aku terlalu buta melihat penderitaan Sintia. Seharusnya, aku yang menanggung bebannya. Bukan dirinya. Semua ini tidak akan terjadi jika saja aku jujur padanya dari awal.
Seharusnya aku jujur...
Dari awal kami menikah, pekerjaanku semakin menumpuk. Jabatan yang aku duduki memang menuntut banyak perhatianku, maka dari itu aku selalu tenggelam oleh pusaran berkas-berkas.
Ibuku, wanita yang selalu aku hormati itu kerap membuatku jengkel. Wajar memang karena dirinya ingin menjadi seorang nenek karena disekitar pertemanannya, hanya dirinya yang belum menggendong cucu.
Keluhan dan desakan Ibuku selalu aku tanggapi dengan kata sabar. Karena, aku bukan Tuhan yang bisa menghadirkan anak sesuai keinginanku saja.
Selama ini aku tidak pernah merasa bosan ataupun kurang bersama Sintia. Anak memang pelengkap, tapi jika memang belum dihadirkan akupun tidak akan mengeluh.
Tapi, beda pandanganku, beda pandangan orang lain. Desakan itu selalu terjadi bukan tertuju padaku saja, tapi juga pada Istriku. Awalnya Sintia memang sempat gusar, tapi aku memberinya pengertian agar dia tetap tenang menerima cibiran serta desakan keluargaku. Setelah itu, Sintia mengikuti saranku. Dia tidak pernah terlihat sedih ataupun ikut-ikut mengeluh. Berbeda dengan perempuan diluar sana yang akan tertekan dan bermuram durja.
Tapi aku salah...
Dibalik ketenangan itu, dia menyimpan beribu sayatan dihatinya.
Semua bencana bermula saat pernikahan kami menginjak tahun ke lima. Aku mulai merasa iri pada pasangan yang sudah memiliki anak. Seperti Hadi, tetangga di rumah masa kecilku itu, dia sudah menggendong dua anak perempuan. Melihat Hadi yang selalu sabar menanggapi kedua putri cantiknya, ada rasa iri yang datang tiba-tiba.
Aku sempat murung karena keinginan memiliki anak itu tiba-tiba menguasai diriku. Saat malam, selesai bercinta dengan panas bersama Sintia, aku selalu berdoa agar kegiatan malam kami menghasilkan buah hati.
Tapi, sesering apapun aku bercinta dengan Sintia, sampai lima tahun ini belum ada hasil yang aku harapkan.
Mulai risau, aku pernah melihat hasil tes kesehatan rumah sakit milik Sintia. Istriku itu dinyatakan sehat dan subur. Tidak ada yang salah darinya. Semalaman aku mengurung diri di ruang kerja rumahku. Jika tidak ada yang salah dari Sintia, apakah mungkin itu aku?