After Rain

252K 6.2K 873
                                    



Aku masih duduk menunggu, entah sudah berapa lama aku masih di sini. Sore berganti malam dan gelap langit semakin pekat. Aku tahu ini bodoh, tapi aku memang bodoh. Aku tidak bisa berlari dan menangis, yang bisa aku lakukan hanya duduk menunggu di ruang tengah apartement mewah ini.

Mataku melirik ke seluruh penjuru ruangan. Masih rapih dan bersih padahal sudah 2 tahun aku tidak menginjakkan kaki di sini. Sejujurnya aku lupa pernah membeli apartement ini. Dulu, alasan aku membeli apartement di daerah sudirman ini adalah tempat istirahat agar aku dan kekasihku bisa memadu kasih tanpa gangguan orang tuaku.

Semenjak menikah, aku lupa tempat ini. Karena aku dan kekasihku—yang akhirnya menjadi suamiku, sudah memiliki rumah impian kami berdua.

Tapi, aku tidak menyangka, tempat yang tadinya penuh kenangan indah ini akan menjadi saksi bisu aku terkhianati.

Miris sekali. Sangat amat miris.

Di umur ke 29 tahun, menjalani pernikahan yang begitu indah selama 2 tahun, aku akhirnya tersakiti dengan amat sangat dalam. Bahkan, aku tidak pernah berpikir kalau penyebab rasa sakitku seperti ini.

Aku melirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul 9 malam, lalu mataku melirik ke arah kertas yang berlogo rumah sakit swasta di atas meja. Melihat itu, hatiku nyeri luar biasa.

Semua hal yang aku lakukan dan aku pertaruhkan berakhir sia-sia. Perjuanganku malah mengkhianatiku. Entah dosa apa yang aku lakukan sampai hidupku seperti ini.

Mataku menatap tajam pintu kamar yang masih tertutup. Seluruh penerangan di apartement ini masih dalam keadaan mati karena penghuninya sedari tadi belum keluar menyalakan lampu.

Tiba-tiba bunyi pintu terbuka membuat jantungku semakin terpompa. Pandanganku langsung terkunci pada sosok tinggi yang keluar hanya memakai celana boksernya sambil menguap. Dia menutup pintu dengan perlahan lalu berjalan mencari saklar lampu ruang tengah.

Saat cahaya terang tidak membutakan pandangannya, wajahnya langsung pucat saat matanya dan mataku terkunci satu sama lain.

Aku bisa melihat betapa terkejut wajahnya. Dia sudah tertangkap basah.

Mataku terus menghunusnya tajam. Posisiku masih sama sedari aku datang. Duduk di sofa tunggal masih memakai baju kerjaku, melipat kedua tanganku dibawah dada, tungkai kaki aku silangkan membuat rok selututku naik sampai pahaku setengahnya terlihat.

"Ki... Kiara?" Suaranya tercekat.

Dengan benci aku memberinya senyuman jijik sambil menyapu pandangan pada seluruh tubuhnya. Lihat saja bulir peluh masih tercetak jelas di kulit putihnya itu. Melihat penampilannya, aku merasa mual luar biasa.

"Kiara? Ke-kenapa kamu di sini, Sayang?" Dia mencoba berjalan mendekatiku.

Demi Tuhan, aku tidak pernah membayangkan ada di posisi seperti ini. Tidak sekalipun ada pemikiran harus berakhir seperti ini.

"Menurutmu apa yang aku lakukan di sini dari jam 5 sore, Vian?" Desisku dingin.

Jakunnya naik turun dengan mata yang tidak bisa fokus ke mana-mana. Lalu dia berjalan cepat dan terjatuh bersimpuh di kakiku.

"Ki, maafin aku! Sumpah awalnya aku nggak berniat seperti ini!" Ujarnya menatapku dalam penuh sorotan bersalah.

Aku menatapnya datar. Bisa-bisanya dia bilang tidak berniat?

Belum juga aku membalas ucapannya, suara pintu kembali terdengar.

"Sayang?" Aku dan Vian sama-sama menoleh ke arah pintu yang sudah terbuka sepenuhnya.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang