Segitiga Bermuda

13.1K 1.6K 110
                                    

Aku menatap pada cangkir tehku yang masih terisi penuh dan tak tersentuh. Sebagai penikmat teh karena lambungku tak bisa terkena kafein, biasanya aku merasa tenang berada di tempat seperti ini.

Restoran ini menyediakan tempat yang tenang juga begitu privasi. Aku tak akan heran melihat harga satu makanannya hampir sama dengan pengeluaran permingguku saat dulu masih menjadi sekretaris Baskara.

Sekarang, sejak menjadi kekasihnya, aku dipindahkan menjadi manager keuangan perusahaannya. Jabatan yang mudah aku dapatkan karena aku sudah bersedia menjadi simpanan lelaki itu.

Tapi, Baskara mengatakan jabatan ini memang pantas aku dapatkan, melewati beberapa tes dan berkas aku memang lulus. Banyak orang yang mengatakan juga kalau kepintaranku tak seharusnya berputar sebagai sekretaris. Jabatan seorang manager memang layak untuk aku sandang.

Sayang sekali, aku tak percaya. Dan seharusnya mereka juga tak percaya pada itu. Karena jabatan ini memang bersamaan dengan aku resmi menjadi kekasih gelap Baskara.

Kehidupan yang nyaman dan tentram berubah drastis. Seakan tiap hari aku bisa merasakan apa itu namanya hujan uang. Baskara tentu saja bukan tipe kekasih pelit. Ia senang memanjakanku dengan kemewahan.

Awal kami menjalin hubungan, aku hanya mau menerima barang-barang kecil yang tak mahal. Baskara tentu saja gemas karena baginya, aku cukup menurut dengan barang yang ia kasih. Bukan protes setiap aku mencari tahu harga hadiah yang selalu ia berikan.

Aku bukannya jual mahal padanya. Apa lagi bertindak menutupi sifat matre. Aku hanya belum terbiasa dengan barang mewah yang tiba-tiba ada di dalam apartemen mungilku. Baskara bisa dengan mudah memberikan liontin seharga mobil pajero, dan besoknya membawa gelang bertaburan berlian seharga rumah. Sedangkan aku untuk melunasi apartemenku saja butuh empat tahun kerja menjadi sekretarisnya.

Dan semuanya tak mudah mendapati diriku dimanjakan dengan hartanya.

Karena aku menerima Baskara sebagai lelaki yang aku cintai apa adanya. Bukan sebagai Baskara atasanku yang memiliki harta melimpah.

Kian hari diiringi protesan Baskara soal aku menolak hadiah-hadiah mewahnya, aku jadi semakin tahu, kalau lelaki itu memiliki harga diri yang tinggi. Sekali aku menolak hadiahnya, dia akan membawakan hadiah lainnya sampai aku menerimanya. Pada akhirnya, aku hanya bisa pasrah dengan limpahan yang ia berikan.

Dan semakin lama, aku terbiasa pada hal itu. Toh, dia membelikan itu semua dengan uangnya. Aku tahu Baskara adalah pengusaha bersih. Dia tahu bermain bisnis dengan aman tanpa kelicikan untuk mengembangkan perusahaan.

Baskara lelaki pintar dan pekerja keras. Empat tahun mendampingi dan bertemu setiap hari, membuatku mengenal baik siapa Baskara.

Maka tak susah untuk membalas perasaannya dulu. Aku bisa jatuh cinta dengan mudah pada lelaki itu.

Mataku menatap kosong pada cincin bermata berlian biru yang merupakan hadiah ulang tahunku dari Baskara. Sejak Baskara marah karena aku mengeluh tentang menerima hujaman hadiah mewahnya, aku berhenti mencaritahu berapa harga setiap barangnya.

"Aku kasih kamu hadiah bukan artinya aku minta balasan hadiah yang setara. Aku kasih kamu hadiah karena aku suka apa yang aku lihat dan di dalam pikiranku kamu akan cantik sekali memakai hadiahku. Kalo kamu emang menghargainya, tolong terima aja."

Baskara mengatakan itu dengan raut muram. Dia baru saja pulang dari Austria dan langsung ke apartemenku tengah malam. Aku yakin ia bisa saja marah berteriak karena sudah sekian kalinya aku mengeluh tentang hadiah yang ia berikan. Tapi, lelaki itu hanya berkata pelan sambil menyandarkan tubuhnya di sofa.

"Maaf menunggu lama. Jujur aku tersesat masuk ke hotel ini."

Aku menoleh pada perempuan tinggi berbadan kurus yang memakai pakaian kasual namun feminim.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang