21+
"Uhhh..." lenguhan itu seperti melodi penuh nikmat dunia yang begitu indah.
Aku memujanya. Sungguh, wanita tercantik yang pernah aku lihat. Keindahan seorang wanita memang membuatku takjub, tapi, dirinya... Luar biasa indah.
Kulitnya tidak putih seperti susu. Kulitnya kuning bercahaya. Kulit pribumi dengan tekstur selembut sutra. Aku tidak bosan menyentuh kulitnya ini. Astaga, kalau aku terlahir di zaman majapahit mungkin aku sudah menyembahnya karena terlahir seperti dewi yang turun dari kahyangan.
Lihat wajahnya. Manis dengan lesung pipi kanannya. Belum lagi bola mata bulat dengan warna coklat madu yang terus menerus menghinoptisku. Alisnya tersulam alami dengan bentuk ramping yang indah. Bibirnya... akan selalu menjadi nikotin untukku. Tidak semerah bunga namun selembab rawa. Bibir bawahnya agak tebal dengan belahan yang kentara. Bibir atasnya terbentuk tipis namun meninggalkan kesan manis. Belum lagi saat dia tersenyum menampilkan gingsulnya. Begitu indah.
Lekukan tubuhnya berhasil membuat kedua tanganku berlama-lama dipinggangnya. Belum lagi si dua kembar dengan puncak kecoklatan itu. Aku akui dadanya besar, apalagi saat menggunakan bra seakan mau tumpah. Tapi itu tempat ternyamanku untuk bermanja.
Namanya Mawar Sulis Rembulan. Nama yang sangat indah apa lagi terucap dari bibirnya saat pertama kali kami berkenalan. Aku ingat dulu. Pertemuan kami 4 tahun yang lalu.
"Mas Yanda?"
Aku termangu menatap wanita cantik yang memakai kebaya emas dan rambut sehitam malam yang disanggul dengan hiasan bunga mawar. Wajahnya begitu ayu dengan riasan bold tapi tidak menjadikan dirinya berlebihan. Pas adalah kata yang tepat.
"Ya?" Aku mengerjap masih terbawa pesonanya.
"Mas Yanda Handalas?" Tanyanya lagi dengan raut berubah ragu.
Aku mengangguk berkali-kali, "iya benar!" seruku kelewat semangat.
Dia tersenyum manis menampakkan lesung di pipi kanannya. Seketika wajahku memerah.
"Mas Yanda sahabatnya Mbak Ajeng, kan?" Astaga, sebut lagi namaku sayang. Suaramu begitu indah.
Aku mengangguk seraya menggaruk tengkukku, "benar. Kenapa ya, Dek?"
Dia tersenyum lagi. Tuhan, apa bidadari didepanku ini selalu membuang-buang senyumnya?
"Aku calon Adek iparnya Mbak Ajeng. Tadi, kata Mbak Ajeng suruh cari Mas Yanda. Sebelum akad dia mau ketemu Mas Yanda dulu." Beritahunya dengan lembut.
Oh, ternyata adik iparnya. Memang seingatku Ajeng sahabatku yang akan menikah hari ini adalah anak bungsu.
"Oh, ya sudah."
"Mari, Mas. Ikut aku." Ajaknya berjalan mendahuluiku.
Aku mengikutinya sambil mata nakalku fokus pada lekuk tubuh dan bokong sekalnya yang terselimuti kain batik khas daerah. Tingginya semampai saat memakai heels dia mampu menyetarai tinggiku. Mungkin, kalau di ranjang dia hanya sedaguku.
Lamunan erotisku terhenti saat dirinya berhenti di depan dua daun pintu putih. Dia membalik tubuhnya menghadapku.
"Masuk aja, Mas. Aku mau siap-siap di depan." Ucapnya masih dengan nada yang lembut.
Aku tersenyum kaku dan membiarkannya melewatiku. Tapi saat aku memegang daun pintu, aku langsung berbalik memanggilnya.
"Dek!"
Dia terlonjak kaget karena panggilanku cukup keras.
"Ya, Mas?" Sahutnya dengan senyum bingung.