Awan berubah gelap walaupun hari masih siang. Angin tertiup kencang menandakan hujan akan turun sebentar lagi. Dean masih terduduk di kursi rodanya dengan tubuh agak kaku. Saat jumlah kerumunan mulai sedikit, Dean menyentuh tangan Lara—adik bungsunya.
"Ayo, balik ke rumah sakit." Seraknya karena masih susah berbicara.
Lara mengangguk lalu menarik kursi roda Dean yang dibantu Erik. Dia bergerak membantu Lara mendorong kursi roda atasannya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Dean masih terdiam sambil menatap rintik hujan. Dua hari yang lalu dia sadar dari komanya pasca operasi. Rambutnya dipangkas setengah bagian kanan karena ada jahitan akibat kepalanya bocor. Lehernya terbentur setir hingga di bagian tenggorokannya bengkak dan memar. Tulang rusuknya juga bergeser karena hantaman mobil yang begitu kuat. Akhirnya, setelah 3 hari koma, dia sadar.
Tubuhnya masih lemah, melakukan pergerakan kecil saja dia masih belum mampu. Tapi, pagi tadi setelah mendapatkan laporan dari Erik, sebuah kejadian tak terduga datang beberapa jam kemudian.
Rudi Mahardika menghembuskan nafas terakhirnya setelah mengetahui isi laporan dari orang suruhannya yang menelisik penyebab kecelakaan cucu pertamanya itu.
Dean sangat prihatin pada Rudi Mahardika. Kakek tua yang semasa jayanya selalu angkuh dan arogan itu harus menerima kenyataan jika keluarganya sendiri saling menyerang akibat dirinya di masa lalu yang membentuk kebencian dalam hati anak-anaknya.
"Bang, kita sudah sampai." Sentuhan halus itu melepaskan lamunan Dean.
Dean mengangguk saja lalu dibantu Erik untuk duduk kembali ke kursi rodanya. Tatapannya begitu datar semenjak dirinya terbangun dari koma. Atau lebih tepatnya semenjak dia tahu ada wanitanya yang belum bangun dari tidur panjangnya.
"Bang, kita lang—"
"Ke kamar Ana." Potong Dean karena tahu adiknya ingin membawa dia kembali ke kamar rawatnya.
Kamar rawat Dean dan Anala memang berbeda tempat karena Anala masih berada di ruangan intensif yang berbeda lantai dengan kamar rawat Dean. Kondisi wanitanya itu masih belum bisa dipastikan baik-baik saja akibat kritis, hampir seharian lalu koma sampai sekarang.
Dean sangat terpukul melihat wanitanya masih terpejam erat dibantu alat-alat penunjang hidup. Kadang, Dean begitu ketakutan setiap mendengar bunyi monitor detak jantung yang terdengar nyaring kala dia berdiam diri menatap Anala di samping ranjang. Dia takut jika wanitanya memilih pergi meninggalkan dirinya.
Lara mendekatkan kursi roda kakaknya ke samping ranjang Anala. Dia begitu sedih menatap wanita cantik yang tertidur pucat di atas ranjang. Rasanya selalu ingin menangis setiap melihat mantan calon kakak iparnya itu. Apalagi, dia sedikit tahu apa yang Anala rasakan selama hidupnya. Gosip di luar sana begitu ramai, tak ada habisnya membahas keluarga Mahardika.
"Kamu keluar, abang mau di sini berdua saja." Gumam Dean pelan, ia tidak memedulikan tenggorokannya agak perih tiap dia mengeluarkan suara.
Lara mengangguk mengerti lalu keluar diikuti Erik.
Dengan perlahan, Dean menggerakan tangannya untuk menggapai tangan ramping Anala. Diusapnya tangan seputih porselen itu. Hatinya meringis kesakitan melihat wanitanya masih belum sadar juga.
"Aku sadar kalau ini balasan dari Tuhan karena sudah menyakiti kamu sebelumnya. Tanpa kamu balas dendam, Tuhan sudah kasih aku pelajaran." Dean tersenyum miris.
Dia jadi teringat, sebelum kejadian naas yang menimpa mereka, dirinya sempat bertanya kenapa Anala belum membalaskan dendam padanya. Padahal, apa yang dia lakukan sangat pantas untuk dibalas. Ternyata, tanpa Anala melakukannya, Tuhan sudah berencana.