Menjadi seorang istri bukanlah perkara mudah. Dalam ceritaku, menjadi istri Adrian Pramono tidak seindah apa yang orang kira.
Menikah karena perjodohan selalu memiliki kisah beragam. Ada yang berakhir bahagia, ikhlas dan terbiasa menjadikan kisah mereka menyenangkan. Tapi, aku yang ikhlas dan terbiasa belum mendapatkan kisah yang menyenangkan.
Belum lagi di umurku yang masih terbilang muda. Memiliki status sebagai istri di umur 26 tahun tidak aku rencanakan semulanya. Karena ini semua memang di luar rencana kehidupanku.
Adrian itu bukan perayu ulung. Sikapnya hanya seperlunya saja. Termasuk berbicara, dia hanya akan menggerakan bibirnya jika memang harus ada yang dia tanyakan atau katakan.
Sebenarnya, pernikahan ini tidak seperti neraka. Adrian tidak bersikap kasar atau terganggu dengan hadirnya aku sebagai istrinya. Seperti yang aku gambarkan, Adrian adalah pria datar.
Sejak kedua orang tuaku mengenalkan kami, yang aku pikir dia adalah pria dingin. Selama masa penjajakan pun aku masih bersikukuh pada pemikiranku. Hingga cincin pertunangan, aku mulai melihat seperti apa pribadi sebenarnya seorang Adrian.
Hidupnya tidak muluk-muluk, dia tidak suka hal yang merepotkan untuknya, dia juga tidak pandai berbasa-basi. Pembicaraan yang bisa menarik minatnya hanya seputar bola dan otomotif. Adrian sebenarnya sopan, tapi tidak termasuk ramah karena senyum di wajahnya sangat pelit.
Dua bulan bertunangan, aku mulai terbiasa dengan kehadiran Adrian. Bagi beberapa orang, pasti mengira kami berdua terpaksa menjalani hubungan ini. Tapi, aku tahu kalau Adrian sama sepertiku, mulai terbiasa.
Kami bertukar pesan jika memang harus, bertemu rutin setiap malam minggu, dan makan malam di hari-hari tertentu bersama keluarga.
Di antara aku dan Adrian, tidak ada kata penolakan pada perjodohan ini. Aku pernah terang-terangan mengatakan padanya, jika aku hanya mengikuti kemauan kedua orang tuaku, karena aku yang anak tunggal akan melakukan apapun demi kebahagiaan kedua orang tuaku. Dan saat itu Adrian hanya mengangguk lalu berkata, "ya sudah.". Hanya itu.
Sampai hari pernikahan, aku dan dia sama-sama terbiasa. Terbiasa versi kami adalah tidak mengeluh walau tahu tidak ada peningkatan sama sekali dalam hubungan ini meski status sudah berubah.
Menjadi istri Adrian, tidak ada yang bisa aku banggakan kecuali karir Adrian yang cemerlang. Sebagai KABAG (Kepala Bagian) keuangan di gedung pemerintahan pusat, di umurnya yang terbilang muda, Adrian sudah bisa dikatakan sukses. Bahkan mampu memiliki rumah tingkat dua di perumahan cluster Jakarta. Sebagai istrinya, yang memiliki hak penuh melihat arus keuangan suami pun aku terpukau pada cara Adrian menyisihkan uang untuk kebutuhan rumah tangga, nafkah untukku, untuk tabungan, sampai untuk kedua orang tua kami pun dia beri.
Sampai sini, aku terpukau pada cara pria yang lebih senang mengamati sekitar daripada berbicara itu.
Dan seperti yang aku katakan sejak awal, aku ikhlas dan terbiasa menjadi istrinya, tapi aku belum menemukan titik yang membuatku berpikir ada kebahagiaan di pernikahan ini.
Walaupun begitu, aku memilih diam. Aku tidak mau terlalu meminta banyak. Jika dihitung, sudah empat bulan aku menjadi istri Adrian. Kehidupan kami terbilang normal —untukku dan untuknya— jadi, tidak ada yang perlu aku keluhkan padanya.
"Assalamualaikum."
Aku menoleh setelah menaruh mangkuk sayur bening di meja makan. Sudah jam 6 sore, Adrian selalu pulang tepat waktu.
Buru-buru aku pergi ke ruang tengah dan melihatnya sedang membuka sepatu sambil melepas tas punggungnya. Aku mendekatinya untuk mengambil alih tas yang berisi laptop serta dokumen penting di dalamya.