Petikan gitar mengalun di antaranya suara gerimis. Aku memandang lurus lembar foto yang tergeletak tidak jauh dari tempatku bersandar.Foto itu meremas hatikut begitu kuat. Menatap senyum lebarnya di sana seperti mengejekku pada kenangan. Dia terlihat sangat bahagia menatap pada kamera sedang merangkulku yang tertawa lebar.
Menghela nafas pelan, tatapanku beralih ke balkon kamar. Langit mendung masih setia menyelimuti kota Jakarta. Padahal hari sudah mulai sore tapi sedari pagi gerimis tak kunjung berhenti.
Kadang aku bertanya-tanya, kenapa langit bisa dengan mudahnya menangis lalu kembali cerah. Dengan sinar yang datang seakan tidak ada masalah setelah hujan datang.
Aku ingin seperti langit. Menangis lalu semuanya selesai. Kembali sedia kala karena mentari.
Tapi apa aku bisa?
Setelah... semua luka ini?
***
Tujuh bulan yang lalu...
"Maudy!"
Suasana kampus masih ramai karena sudah waktunya jam makan siang. Di sana, Juwita sahabatku datang sambil menenteng banyak gulungan poster. Mengingat dia mengambil eskul mading, dia bertanggung jawab langsung dengan poster-poster kampus.
"Uwi lo lihat Amar nggak?" Aku meneliti penampilan Juwita dari atas sampai bawah, dia sangat kacau.
Juwita mengatur nafasnya karena sedari tadi berjalan cepat menenteng banyak barang, "aduh cowok lo itu juga gue cariin! Seenak udel aja dia bikin gue repot sendiri!"
Aku tertawa kecil menanggapinya. Amar kekasihku semenjak setahun lalu memang memiliki sifat awut-awutan. Yang artinya sangat amat pemalas kalau di suruh-suruh. Juwita dan Amar satu eskul. Aku mengenal Amar juga karena Juwita.
"Di bengkel deh kayaknya. Semalam sih dia bilang ada praktek." Amar memang beda jurusan denganku dan Juwita. Jika aku dan sahabatku mengambil akuntansi, maka Amar adalah anak teknik mesin.
Juwita menggeram tidak terima, "ya udah deh. Bangkek emang cowok lo tuh. Senang banget bikin gue susah!"
Aku tertawa lagi sambil menepuk bahunya memasang ekspresi pura-pura prihatin.
Senang rasanya melihat keakraban Juwita dan Amar. Kata kekasihku, dia melihat Juwita yang tomboy layaknya seorang adik. Dan Juwita juga memandang Amar layaknya seorang abang. Itu yang mereka katakan saat aku bertanya seperti apa perasaan mereka satu sama lain.
Iya, itu jawaban Amar sebelum aku menerima perasaannya. Menerimanya memiliki hatiku. Tidak tanggung-tanggung, dia memiliki seluruhnya. Tanpa sisa.
Dan bodohnya aku yang lugu. Memberikan hatiku di saat pemiliknya ternyata mempermainkan hatiku. Dengan cara yang sangat amat kejam.
***
Lima bulan yang lalu...
"Kamu ke mana sih?!" Sungutku setelah duduk masuk ke dalam sedan merah Amar.
Lelaki itu langsung mengeluarkan bujuk rayunya, meminta maaf karena telat menjemputku.
Tidak tanggung, 3 jam dia membuatku menunggu di dalam cafe. Semalaman kami sudah membuat rencana. Ketemuan di cafe sekalian makan siang, lalu pergi ke Mall untuk nonton di bioskop, pulangnya dinner di Union. Itu rencana hari sabtuku bersamanya. Tapi, nyatanya dia hilang kabar saat jam janji temu kami dan membuatku menunggu.
"Tadi aku antar Mama ke rumah Tanteku di Kuningan, Yang. Sumpah deh!" Dia menatapku serius sambil memegang erat dua tanganku yang sedari tadi ingin memukul kepalanya.