The Golden Cage (4)

23K 2K 435
                                    

Aku mencoba menghubungi Ibu lagi. Tapi, semua panggilanku di tolak. Dengan perasaan kalut, aku memutuskan untuk menemui Ibu.

Aku harus menghubungi Mas Ilhan. Masih jam 11 siang, aku bisa pulang sore dan sampai rumah tak lama kepulangan Mas Ilhan.

Malas mendengar suara suamiku itu, aku memilih mengirimnya pesan. Ya, sejak mengetahui isi pesan itu, aku mengambil langkah diam dan menjauhi Mas Ilhan.

Aku rasa dia tak menyadarinya karena dia terus mengoceh tanpa rasa bersalah pasca sembuh dari sakit radang tenggorokan dan demamnya itu.

Lagi pula aku tak mau terlalu peduli. Karena selain gelisah pada kehadiran Ryka yang semakin menjadi, aku lebih gelisah dengan Ibu yang menghindariku.

Terburu-buru bersiap berangkat ke Bogor, aku tak menyadari ponsel yang terus berdering.

Sampai setengah jam bersiap dan ingin memesan taxi online, aku baru sadar melihat banyaknya panggilan masuk dari Mas Ilhan.

Aku mengernyit tak paham dan lanjut membuka aplikasi pemesanan taxi online. Sebelum mencari alamat tujuan, pagar rumah terdengar dari tempatku duduk di ruang keluarga.

Penasaran, aku berdiri untuk melihat siapa yang berani membuka pagar rumah. Sungguh tak terduga, belum sampai ke pintu rumah, kehadiran Mas Ilhan membuatku bertanya-tanya.

"Mas?"

"Kenapa nggak angkat telponku, Lyka?" dia memandangku lurus dan tajam

Ditatap seperti itu sedikit memukul mundur rasa percaya diriku.

"Lagi siap-siap. Aku silent hapenya." Jujurku.

Dia menarik nafas panjang, "kok tumben mau ke rumah Ibu tiba-tiba? Dua bulan lagi ada tanggal merah berderet. Kita bisa ke sana nanti, Ly."

Aku tidak tahu benar atau tidak dua bulan lagi ada tanggal merah berderet seperti katanya. Yang aku tahu pasti adalah aku harus ke rumah Ibu.

Tersenyum tipis aku menyantol tas selempangku di bahu, "cuman mau jenguk Ibu aja. Kangen juga sama Ibu."

Mas Ilhan memandangku skeptis, "dua hari lagi pasti Ibu datang ke sini, Ly. Ibu kan udah absen bulan kemarin ke sininya. Pasti minggu-minggu ini beliau ke sini."

Mas Ilhan memang tahu jadwal rutin inspeksi Ibu. Tak heran sebenarnya, karena tiap ke sini kalau tak menemukan Mas Ilhan berada di rumah, Ibu dengan sendirinya mengirim pesan pada menantunya dan bilang ada makanan khusus untuk Mas Ilhan.

"Iya, aku mau gantian ke rumah Ibu." Kataku dengan nada tegas yang aku usahakan tidak meninggikan suaraku padanya.

Sudah kebiasaan dari ajaran Ibu.

Tak boleh meninggikan suara pada suami.

Mas Ilhan mendekat, tanpa aba-aba dia mengambil dua tanganku dan menatapnya intens.

"Ini handsaplast baru pakai atau baru di ganti?"

Sehari saat merawat Mas Ilhan yang sakit, dia memang bertanya dengan wajah serius tentang jari-jariku yang terluka.

Dengan lihai aku mengatakan ini karena memasak tadi hingga terluka.

Mas Ilhan terlihat ragu, tapi aku tetap memasang wajah santai kearahnya hingga dia percaya begitu saja.

Bukan hanya dia yang lihai berbicara dusta. Melainkan aku juga.

"Baru ganti selesai mandi tadi, Mas." Jawabku halus sambil melepas jariku dari genggamannya.

Mas Ilhan menatapku semakin intens dalam beberapa detik hingga dia mengangguk kecil.

"Nggak nginap kan?"

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang