Aku berpikir keras bagaimana melenyapkan rasa sesak di dada setiap kali terbayang kenangan yang kami punya.
Aku tahu dengan jelas ada cinta untukku setiap menatap wajahnya. Aku menyukai binar mata yang tersorot hanya untukku itu. Dan kupikir cinta yang Bima milikku untukku tak pernah membawa kesakitan luar biasa ini.
Ternyata aku salah.
Salah jika mengira, aku seberharga itu untuk Bima.
Meski aku tidak akan menyangkal perasaannya, aku tetap tidak akan membenarkan apa yang dia lakukan selama ini.
Berapa usia pernikahan kami sebelum aku mengetahui betapa buruknya seorang Bima?
Baru 5 bulan... dan semenyakitkan ini yang dia berikan.
Aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi seorang ibu sebelumnya. Di umur ke 24 tahun dan tahu ada janin yang tumbuh di dalam rahimku, aku bahagia luar biasa. Aku menjadi perempuan paling bahagia di dunia ini.
Hanya saja, perasaan itu harus aku rasakan kurang dari satu hari.
Mengusap pelan perut yang masih sama datarnya, aku menangis perlahan.
Aku gagal menjadi seorang ibu.
Kegagalanku tidak pernah aku rencanakan. Bahkan, bukan kemauanku harus mengandung dan kehilangan di hari yang sama.
Kenapa Bima bisa seegois ini?
Kenapa dia harus menjadikan aku yang kedua saat bibirnya selalu mengatakan hanya aku.
Aku mencoba memejamkan mata. Kembali tertidur setelah terbangun oleh mimpi hari itu. Hari di mana akhirnya aku tahu, Bima bukanlah pemandu kebahagiaan yang aku impikan.
Hidup memang kejam, aku tahu itu dengan jelas. Tapi, kekejaman ini tidak terpikir kalau dia yang akan membawanya.
Hari sabtu ini, aku hanya bersama Bi Ani di rumah. Ayah sedang meninjau ulang pembangunan di daerah Jakarta Utara. Kemungkinan, bangunan itu akan menjadi karya terakhir ayah.
Seperti biasa, selama dua bulan ini, pasca masa sulitku, aku mencari pengalihan dengan melakukan yoga di beranda dekat kolam renang.
Saat menyegarkan pikiran dan hati, Bi Ani datang mengatakan ada perempuan yang mencariku.
Aku awalnya bingung, apa lagi saat Bi Ani bilang perempuan itu datang bersama seorang bayi.
Menuntaskan rasa penasaran, tanpa berganti pakaian aku langsung menemui tamuku.
Melihat perempuan berwajah cantik nan lembut yang menggendong seorang bayi mungil di tangannya. Hatiku menggeram kesakitan.
"Mau apa?" Tembakku saat mata kami saling berpandangan.
"Hai, bisa kita bicara?"
Perempuan itu masih sama seperti yang aku kenal. Dia tenang, lembut, dan murah senyum.
Jika dulu aku tak pernah masalah dengan itu. Maka sekarang, ingin sekali aku merusak wajahnya.
Dia tersenyum tipis, menyingkap kain yang menutup setengah wajah bayi digendongannya.
"Namanya Aniya Murni Wicaksono." Sambutnya begitu bangga. "Dia lahir premature, makanya kelihatan sedikit lebih kecil dari bayi normal."
Perempuan ini...
"Mau apa?" Sekali lagi aku menekankan keberadaannya.
Dia menoleh masih dengan senyumnya. "Kamu pasti tau aku siapa, dan di sini aku mau menjelaskan duduk masalahnya."