Anala duduk di mobil lexus mewah sambil bersidekap dada. Dia sangat marah dan malu karena di bopong oleh Dean tanpa peduli banyak karyawan yang melihat dan berbisik-bisik.Lelaki itu tahu kalau Anala sangat menjaga harga dirinya di depan semua orang, tapi dia terlalu marah pada perempuan di sampingnya. Dia tidak terima jika cincin tunangan yang sudah dia pilih sepenuh jiwanya itu tidak di hargai sama sekali oleh Anala.
Dean memijat pangkal hidungnya, semakin ke sini Anala semakin susah untuk di kendalikan. Dia tahu sifat wanitanya ini sangat berubah semenjak Anala di tinggal nikah oleh Irham.
Bajingan sialan itu sangat beruntung bisa bersama Anala yang lembut dan penurut. Akhirnya, Dean kehilangan sifat penurut Anala karena si bajingan itu.
"La." Panggil Dean untuk kesekian kalinya.
Dean sangat frustasi kalau berhadapan dengan sifat keras kepala Anala. Sudah tahu sifatnya sendiri keras, bertemu dengan Anala yang berkepala batu, bisa dipastikan butuh waktu lama untuk membuat keadaan berbalik seperti semula.
"Aku cuman nggak suka kamu nggak hargain arti cincin tunangan kita." Dengan sabar Dean terus membujuk Anala yang masih membuang muka ke arah jendela mobil.
Di bangku kemudi ada Erik—tangan kanan Dean yang fokus menyetir dalam diam. Sejujurnya Erik ingin tertawa karena mendengar suara Dean terus menerus membujuk Anala tunangannya itu. Tapi, Erik yang juga berada di acara pertunangan atasannya semalam, dia tidak heran jika Anala sangat marah. Perkataan Dean malam itu pasti sangat melukai Anala.
"Nggak usah bahas-bahas cincin kalo kamu aja nggak bisa ngehargain aku." Desis Anala.
"Bagian mananya aku nggak bisa hargain kamu?" Dean merasa tersinggung. Selama ini dia selalu memperlakukan Anala seperti ratunya. Jadi mustahil baginya jika Anala merasa seperti itu.
Anala menoleh tajam karena tidak percaya pada pertanyaan bodoh Dean. Ingin sekali dirinya memukul kepala Dean dan membuka isi otak lelaki itu.
"Bagian mananya?!" Sengit Anala, "bagian mananya kamu ngehargain aku tunangan kamu setelah kamu hina aku di depan tamu kita dan kamu siram aku sampai teman-teman kamu cuman bisa ketawa ngelihat betapa tololnya aku di acara tunangan aku sendiri?!" Teriak Anala.
Dean terdiam dengan wajah pias. Dia benar-benar menyesal sudah di luar kendali semalam. Tapi harusnya itu wajar karena posisi Anala adalah pelaku juga malam itu.
"Aku spontan oke? Aku panik lihat Vivi tengg—"
"Dan kamu mau tampar aku di acara pertunangan kita." Potongnya dingin. Bagian itu tidak akan pernah Anala lupakan sampai kapanpun.
Dean mengusap wajahnya frustasi. Emosi sialan! Makinya dalam hati.
"Aku nggak bisa bayangin gimana kita kedepannya. Kejadian semalam pasti bakalan terulang lagi dan lagi selama sahabat bangsat kamu masih ganggu aku!"
"La, mereka baik sama kamu, mereka mau mencoba akrab! Tapi kamu yang terlalu angkuh sama mereka!" Bela Dean tanpa sadar.
Anala menggeleng kepalanya miris. Selama ini dia tahan dengan kebodohan Dean yang tidak melihat betapa buruk sahabatnya itu pada Anala. Tapi, kali ini? Jangan harap Anala mau menahan tangannya untuk tidak melayang pada wajah-wajah munafik itu.
"Lebih baik semua di batalin. Aku nggak bisa sama cowok tolol kayak kamu." Ucapnya dingin tanpa menoleh lagi pada Dean.
Dean menatap tajam Anala. Dia tidak terima. Dia butuh waktu lama untuk sampai di titik seperti ini.
"Kamu tau aku nggak bakalan lepasin kamu, Anala."
"Peduli setan, Dean!" Bentak Anala yang matanya sudah memerah menahan tangis, "Bodo amat sama segala sikap dan kemauan kamu itu! Aku nggak bisa! Aku nggak tahan sama cowok tolol yang selalu tutup mata sama telinganya tentang sikap bangsat semua sahabat kamu itu! Kamu pikir aku segoblok itu mau dekat-dekat sama kaum munafik kayak kalian? Najis!"