Aku menghirup nafas panjang setelah sadar terbangun lagi di ranjang yang sama dengan lelaki yang sama. Memang sih, hal wajar karena lelaki yang memelukku erat ini berstatus suamiku. Bahkan kami sudah satu tahun bersama berbagi ranjang. Tapi, sejujurnya setahun ini hanya aku yang merasa tak nyaman terbangun di ranjang yang sama bersamanya.
Menarik nafas lagi, aku menggeser lengannya yang membelit perutku. Dia mengerang protes, apalagi aku tidak memperhalus caraku melepas belitannya. Saat duduk di pinggir ranjang, aku bisa merasakan dia terbangun dan bergerak mencari posisi nyaman lagi.
"Jam berapa?" tanyanya dengan suara serak.
Aku melirik jam diatas dinding, "Jam enam."
Dia mendesah berat, bergerak lagi bersamaan dengan aku bangkit untuk membuka gorden.
"Ini hari minggu, Ly. Tidur lagi aja, emang kamu nggak capek?"
Tentu aku lelah. Melayaninya di pagi buta, harus memuaskan dia sampai akhirnya terlelap setelah mendapatkan pelepasannya. Aku lelah, tapi kata Ibu itu adalah kewajibanku.
Aku menggeleng seraya menoleh, "Mas tidur lagi aja. Aku mau beres-beres rumah."
Mas Ilhan tidak menjawab lagi atau mungkin dia sudah terlelap kembali.
Sebelum subuh, Mas Ilhan memang membangunkanku. Seperti biasa, dia membujukku dengan kecupan-kecupan kecil di bahu lalu beralih ke leher. Jika aku sudah terbangun, tangannya akan semakin berani masuk ke dalam baju tidurku. Dan pada akhirnya aku harus bangun malayaninya sebagai istri yang sesungguhnya.
Aku ke dapur setelah mandi dan berganti pakaian. Hal pertama yang aku tuju adalah lemari penyimpan banyak jamu-jamu yang Ibu bawa untukku.
Ibu sudah mewanti-wantiku kalau aku harus rajin meminum jamu yang disiapkan beliau. Ada bermacam jamu di dalam kabinet.
Dan jamu yang sedang aku seduh adalah jamu pengencang kewanitaan. Ibu bilang aku harus rajin meminumnya, karena khasiat dari jamu itu bisa membuat keharmonisan rumah tangga semakin tinggi.
Setelah meminum jamu itu, aku terkekeh kecil. Ibu sepertinya salah. Mau serapat apapun vaginaku sekarang, akan selalu ada yang menjadi alasan sebuah ketidakharmonisan.
Tapi, karena ini petuah Ibu, tentu saja aku tetap mengikutinya.
Hari ini harusnya seperti hari minggu biasa, kami sarapan lalu bersantai di ruang keluarga. Mas Ilhan menonton tv sedangkan aku disebelahnya memilih membuka social media, mencari-cari info atau video tentang tanaman. Menjelang siang, aku memesan makanan secara online. Mas Ilhan yang minta untuk memesan pizza untuk makan siangnya dengan alasan makan pagi kami sudah berat yaitu nasi uduk. Menjelang sore, aku bingung karena Mas Ilhan masih ada di rumah. Biasanya dia sudah rapih dan wangi menenteng sepatu bolanya. Kalo tidak main futsal, atau sekedar nongkrong.
Tapi, ini? Dia malah asik tidur-tiduran di ruang tengah sambil main game di ponselnya.
"Ly, makan diluar yuk!" ajaknya saat aku datang memberinya teh hijau kesukaannya.
Makan diluar? Ada acara apa? Tidak biasanya.
"Ke mana? Mas nggak futsal?"
Mas Ilhan menoleh dan langsung menarik tanganku agar ikut bersender di sofa yang sudah diatur menjadi sofabed.
"Nggak dulu, mau berduaan sama kamu aja. Dia memasang senyum geli merangkulku. Tangan kanannya memaksakan agar bisa memegang ponsel di tangan kirinya, alhasil aku di dekapnya dan mau tak mau ikut memandangi ponselnya, Aku mau mengurangi jadwal diluar rumah. Lama-lama capek juga keluar terus."
Padahal aku sangat mendukung Mas Ilhan berada diluar. Jika, dia ada di dekatku terus rasanya menyesakkan. Aku tidak mau dia ada di rumah terus.
Apa Mas Ilhan merasa aku keberatan dengan rutinitasnya selama ini? Padahal aku sengaja berdiam diri dan bersikap wajar kalau dia izin pergi keluar. Aku juga tidak memasang wajah keberatan kalau dia keluar kota.