"Lu ada masalah?"
Aku mengerjap cepat, terkejut dengan kehadiran Mila yang tiba-tiba datang ke meja kerjaku.
"Kok nanya gitu?"
"Lu bengong mukanya kayak orang banyak utang." Katanya sambil bersender dipinggir meja. "Rumah lu bukannya udah lunas cicilannya tahun kemarin?"
"Apaan sih lu! Gue nggak ada beban utang." Bantahku sengit.
Dia memiringkan wajahnya tak percaya, "terus kenapa muka penuh beban gitu?"
"Maksudnya?"
"Dy, lu tuh pulang dari Bandung seminggu enak-enak tapi muka nggak ada hepi-hepinya. Yang ada muka lu kayak tertekan, ngelamun mulu. Kena semprot pas morning briefing baru tau rasa lu!"
Aku berdecak, "udah sana ah... ganggu aja lu."
Tapi, Mila tetap bertahan di mejanya sambil terus mengoceh. Sedangkan aku kembali melamun.
Sejak pulang dari Gereja, aku dan Ardan berbicara lagi tentang masalah ini. Ardan menceritakan keluh kesahnya dan rasa malunya karena penyakit yang dia alami. Dia merasa gagal menjadi suami karena dirinya yang akan menjadi penghambat. Rasa malunya itu membuat dia memilih ke Bandung dan mengabaikanku.
Katanya dia juga sakit harus berjauhan, tapi rasa sakit atas kecewa pada dirinya sendiri terlalu besar.
Pertemuannya dengan Tina tidak pernah direncanakan. Memang sudah setahun lebih Tina pindah ke Bandung untuk memulai hidup baru. Ardan juga tidak pernah mencari-cari tahu tentang mantannya itu. Sampai akhirnya mereka bertemu di cafe, Tina yang datang bersama teman-teman gerejanya, tak sengaja bertemu Ardan yang sedang mengawasi cafe seperti biasa.
Dari pertemuan itu, Ardan tahu kalau di gereja Tina ada sebuah perkumpulan rohani, di mana di dalamnya banyak anggota yang secara rutin setiap kamis dan sabtu sore berkumpul dan saling berbagi masalah mereka.
Awalnya, Ardan tidak tertarik saat Tina mengajaknya bergabung, tapi, saat dia sedang berdoa di Gereja yang ternyata tempat Tina juga beribadah, dia melihat secara langsung bagaimana orang-orang di perkumpulan itu saling berbagi keluh kesah dan menguatkan. Membuat dalam diri Ardan bergerak dengan sendirinya mengikuti perkumpulan itu.
Hari di mana aku melihat Ardan dan Tina adalah saat suamiku berterima kasih pada mantan kekasihnya. Dia senang bisa menemukan tempat yang membuatnya bisa melepaskan beban yang sedang dia pikul.
Ardan mengaku kalau pelukan itu hanya pelukan biasa sesama teman. Tak ada perasaan yang merujuk sebuah pengkhianatan.
Mendengar cerita Ardan, aku merasa kecewa pada diriku. Merasa kalau ternyata aku tidak cukup membuat Ardan bisa melepaskan bebannya seperti dia bertemu dengan perkumpulan rohani itu.
Sedih? Tentu saja. Bahkan aku menyatakan kesedihan itu selesai dia bercerita.
Dan akhirnya, kata maaflah yang menjadi penutup obrolan malam kami. Ardan mengakui kesalahannya dan menyesal sudah membuatku hancur akan tingkahnya.
Apakah aku memaafkan Ardan?
Ya, aku memaafkannya.
Hubunganku dan Ardan adalah hubungan sah dalam agama dan negara. Sudah lima tahun pernikahan ini berjalan, dan selama ini hanya baru sekali Ardan mengecewakanku.
Pernikahan juga bukan seperti hubungan pacaran yang bisa putus dan balikan lagi. Aku sudah bersumpah atas nama Tuhan akan menerima baik dan buruknya, menemani dia di saat susah dan senang. Maka dari itu, kesempatan kedua bukanlah hal buruk dalam pernikahan.
Aku sangat mengharapkan, masalah kemarin dapat dijadikan pelajaran untuk kami berdua. Terutama Ardan.
Dia mulai menjadi pendiam. Namun, menjadi sangat perhatian padaku. Seperti pagi ini, tiba-tiba saja mengajukan diri untuk mengantarku ke hotel.