21+
Lily berdiri kaku dibalkon rumah besar yang sedang merayakan sebuah pesta ulang tahun pernikahan untuk pasangan suami istri yang rambutnya mulai memutih. Dia menghadap ke arah hamparan taman bunga yang sangat luas. Rumah ini begitu besar dan indah. Para undangan juga dimanjakan oleh hidangan kelas atas.
Wangi bunga taman yang terbawa angin mencoba menenangkan dirinya. Sesuatu membuatnya sedih. Sesuatu tidak bisa membuatnya merasakan kebahagiaan seperti orang-orang rasakan.
"Sendiri?" Suara itu berat dan serak, Lily tidak pernah mendengar suara itu. Berarti lelaki itu asing baginya.
Lily mengangguk pelan namun pandangannya masih terpaku lurus ke sana.
"Semua orang ada di dalam. Kenapa kamu di sini sendirian?" Lily mengernyit, mereka tidak saling mengenal tapi nada suara itu seperti teman lama.
"Apa kita saling mengenal?" Tanya Lily pelan tanpa menoleh.
"Aku hanya mengenalmu sebagai Putri Jefferson." Jawab lelaki itu dengan sarat geli.
"Berarti kita tidak saling mengenal." Telaknya.
"Tapi aku ingin mengenalmu."
Lily mendengus, "Aku tidak ingin."
"Kenapa?" Lelaki dengan fisik hampir sempurna itu tidak mau mengalah.
"Karena kamu orang asing."
Suara helaan nafas jengkel menghampirinya, "kita bisa saling berkenalan agar tidak asing."
"Jangan ganggu aku. Pergilah." Usir Lily datar.
"Aku butuh teman. Aku sedang patah hati." Nada frustasi itu membuat Lily menghela nafas.
Bukan hanya lelaki itu, namun dirinya juga. Lily sedang patah hati. Bukan baru-baru ini, tapi sejak 6 tahun yang lalu. Tapi, sakitnya masih terasa sampai sekarang.
"Aku punya cerita. Bukan cerita dongeng atau karangan orang lain. Ini ceritaku."
"Kenapa harus bercerita denganku?"
"Karena—aku butuh orang asing mendengarkannya." Ucapnya lugas.
Lily juga butuh pendengar. Tapi, tidak ada satupun masuk kualifikasi sebagai pendengar ceritanya.
"Lanjutkan."
Lelaki itu tersenyum lebar dan menatap wajah Lily dari samping. Di matanya, Lily sangat cantik. Memakai gaun berwarna putih gading yang panjangnya sampai menyapu lantai dan menampilkan lengan rampingnya. Gaun sederhana itu tidak terlalu terbuka namun sangat manis dipakainya. Rambut cokelat menyala itu juga digulung cantik menampilkan leher jenjangnya. Sebuah tato kecil bergambar bunga Lily mengintip malu di belakang daun telinganya. Secara keseluruhan, dia cantik.
"Aku memiliki kekasih. Kami sangat bahagia, terutama aku. Dia sangat cantik dan indah yang dibalut kesederhanaannya. Perempuan terhebat yang aku akui setelah Ibuku. Dia penyuka anak-anak, maka dari itu dia dekat dengan semua keponakanku. Aku sangat mencintainya—tapi dia tidak melakukan hal yang sama sepertiku..."
"Dia tidak mencintaimu." Lirih Lily.
Lelaki itu mengangguk pelan, "Dia mungkin lembut dan manis, tapi, dia penuh dengan rahasia. Dia meninggalkanku dengan sangat kejam. Aku terlalu terkejut ditinggalkan begitu saja. Aku sempat merenung, apa kurang dan salahnya aku selama kami menjalin kasih. Aku sampai sekarang tidak tau. Atau aku yang tidak sadar selama berjalannya hubungan manis kami, aku tanpa sengaja melakukan kesalahan. Tapi, ditinggalkan tanpa penjelasan... aku tidak bisa menerima itu. Aku butuh alasan."
Lily terdiam menghirup nafasnya lebih dalam. Rasa sakit lelaki itu bisa dia rasakan. Walaupun ceritanya berbeda, tapi dia bisa memahaminya.
"Perempuan itu—pasti punya alasan kuat. Pergi tanpa penjelasan bukan hal yang mudah. Ada banyak hal yang dipikirkan. Aku yakin itu." Ucap Lily.