Di umur berkepala 3 seharusnya pengalaman sudah terbilang cukup. Mental juga terbilang siap dalam menjalankan hidup yang penuh kejutan.Menjadi perempuan yang diberkahi fisik lengkap dan menawan memang menyenangkan. Bahkan, sesama kaumku saja menaruh iri.
Kata mereka, kehidupanku adalah yang mereka idamkan. Mereka ingin terlahir sepertiku. Memiliki segalanya.
Aku hanya bisa tersenyum tipis menanggapi harapan hiperbola mereka. Pujian-pujian yang aku dapatkan juga tidak membuat hatiku senang.
Karena mereka tidak tahu apa yang aku jalankan selama 32 tahun ini.
Mereka tidak tahu dibalik senyum yang selalu aku pamerkan memiliki seribu luka di dalamnya.
"Terus kenapa lo ada di sini?!"
Aku mengangkat wajahku tidak terkejut sama sekali. Malah aku melirik keadaan kedai kopi, takut jika bentakan Agni sahabatku memancing perhatian pengunjung.
Menaruh cangkir kopi hitamku, aku menatap sahabatku dengan lekat. Kami saling mengenal sejak duduk di bangku kuliah. Bisa dikatakan, dia satu-satunya orang yang memahami diriku. Agni mengenalku dari pada siapapun.
"Ni, gue nggak segabut itu buat ikutin Aryo."
Agni menatapku aneh, "cuman lo istri yang ngerasa gabut buat samperin suaminya selingkuh, Lin!"
"Ck. Berlebihan."
"Azeline... gue nggak paham istri model apa kayak lo." Ucapnya lagi dengan tampang takjub.
Iya, aku adalah seorang istri. Dari seorang lelaki berkulit putih yang selalu tampak rapih dengan kemeja kantornya.
Namanya Aryo Tiraga. Aku mengenalnya sejak lama. Dia adalah teman semasa kecilku, bahkan awalnya kami adalah tetangga. Tapi, saat masuk SMP aku pindah ke Surabaya lalu balik lagi ke Jakarta saat diterima perguruan tinggi di sini.
Aryo... dia tampan, mapan, dan pintar. Aku menyukainya sedari dulu dan rasa suka itu berkembang lebih cepat saat aku bertemu dengannya lagi di area kampus.
Kami berteman baik, dia sebagai kakak tingkat yang selalu membantuku dalam kesulitan tugas kampus. Semakin lama, kedekatan kami menimbulkan percikan rasa. Aku yang sedari dulu sudah menyimpan perasaan padanya tentu saja mengangguk semangat saat dia mengajakku menjalin kasih.
Aku mencintai Aryo dan dia juga mencintaiku. Hubungan kami berjalan sangat mulus. Jauh dari pertengkaran karena masalah-masalah percintaan.
Tepat di hari ulang tahunku yang ke 29 tahun dengan kondisi finansial dan mental sudah siap, aku menerima lamarannya. Lima tahun kami menjalanin kasih, akhirnya berujung pada pernikahan.
Banyak yang memuji kami sebagai pasangan serasi dan saling beruntung. Aryo yang mendapatkan wanita cantik dan aku yang mendapatkan pria mapan.
Aku juga berpikir begitu tadinya. Aku begitu beruntung mendapatkan suami seperti Aryo. Dengan polosnya aku berpikir kalau bukan Aryo, apa ada yang terbaik lainnya?
Hanya saja, di tahun ke 3 kami berumah tangga, semuanya berbeda.
Aku salah jika selama ini merasa rumah tanggaku baik-baik saja. Setidaknya, Aryo membuat rumah tangga kami terlihat baik-baik saja.
Seperti biasa, menjadi ibu rumah tangga setelah menikah memang memiliki banyak tugas. Apa lagi aku memiliki satu putra yang masih berumur satu tahun tujuh bulan.