Gelap malam menyelimuti kota Jakarta yang muram dari guyuran hujan. Aku masih memandang lurus pemandangan kota kelahiran dari balik kaca apartement. Udara semakin dingin walaupun pendingin ruangan sudah dimatikan.Desahan lelah sarat kesedihan keluar lagi dan lagi dari bibirku. Aku melirih nanar ke layar ponsel di genggamanku. Terpampang jelas kontak yang sudah berpuluh-puluh kali aku hubungin. Namun semua berakhir dengan jawaban operator.
"Maaf nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi."
Entah di mana dia saat ini. Sudah tidur kah? Mengingat sekarang sudah pukul 11 malam. Tapi, seharusnya dia mengabariku kan? Atau dia masih di kantornya? Lembur lagi? Atau dia sedang pergi?
Semua kegundahanku tidak akan mendapat jawaban pasti.
Aku menarik nafas dalam-dalam, menahan rasa sesak yang seminggu ini sudah menghampiriku. Seharusnya tidak seperti ini... Hubungan kami sudah terjalin lama. Tidak mungkin kan sesuatu terjadi?
Mungkin sekali lagi aku menghubunginya dan dia akan mengangkat panggilanku.
Walaupun perih di dada, aku tetap menggerakan jariku di atas layar ponsel. Belum juga aku menekan panggilan, tiba-tiba ada panggilan masuk dari sahabatku. Aku berpikir sejenak sebelum mengangkat panggilannya.
"Hallo."
"Dev? Where are you?"
"Apart. Kenapa?"
"Sini apart Lista. Ada cowok lo juga kok di sini." Aku mengernyit bingung.
Tunggu, Galang ada di sana?
"Galang di situ? Dari tadi?" Tanyaku pelan.
Suara percakapan diselingi tawa yang aku kenal membuatku mengeratkan pegangan di ponsel, "Ta? Galang di situ dari tadi?" Ulangku.
"Eh? Iya, Dev. Dia yang datang duluan ke sini."
"Loh? Emang ada acara apa?"
"Lista naik jabatan, sini deh buru!"
"Hm. I'll be there."
Aku mematikan panggilan sepihak. Tatapanku lurus pada jalanan yang masih padat di bawah sana. Jantungku berdetak kencang, mengetahui kekasihku berada di apartement sahabatku membuat banyak spekulasi.
Dia tidak mengabariku dari siang lalu tiba-tiba dia ada di apartement Lista—sahabatku sekaligus mantan pacarnya.
Dan yang aku tidak tahu adalah pertemuan mendadak ini. Entah ini mendadak atau memang sudah di rencanakan tapi aku tetap terkejut.
Aku mendesah lirih lalu bangkit dari sofa yang aku tarik ke dinding kaca. Dengan cepat aku mengganti pakaian, kaos putih polos dengan jeans hitam menjadi pilihanku. Karena di luar seperti akan hujan aku membawa jaket kulit yang tahun lalu menjadi hadiah ulang tahun dari kekasihku.
Saat menelisik penampilanku di depan cermin, tanganku menggenggam erat ujung jaket yang aku pakai. Lagi-lagi rasa sesak itu menghampiri.
Akhir-akhir ini perasaanku di buat bingung dan sakit karena sikap Galang yang berubah dratis. Aku bingung apa salahku. Kenapa dia mengabaikanku seperti ini, padahal aku tidak merasa melakukan kesalahan kali ini.
Hubunganku dan Galang sudah berjalan cukup lama. Dua bulan lagi akan tepat 4 tahun kami menjalin kasih. Selama ini, hubungan yang terjalin cukup baik dan jauh dari pertengkaran. Galang bukan tipe lelaki cemburuan dan posesif, aku pun begitu. Aku mempercayainya berikut dengan hatiku yang aku berikan seluruhnya.