What If

67.5K 3.8K 393
                                    


"Kenapa?"

Aku menoleh dengan tatapan kosong. Dengan sisa tenagaku, aku menyentuh rahangnya yang kokoh. Di sampingku ini, dia mengurut dahinya heran melihat tingkahku.

"Ada apa?" Nadanya begitu lembut sampai hatiku berdesir.

"Kalau—aku bukan jodohmu gimana?"

Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Seminggu ini aku dibuat gelisah karena suatu hal. Dan suatu hal ini meliputi banyak pihak yang aku sayangi.

"Maksudmu apa?"

Aku tersenyum lirih lalu melepaskan tanganku dari rahangnya. Tatapanku kembali tertuju pada pemandangan jalan tol di malam hari. Semakin gelap langit, kehidupan tidak akan berhenti. Di balik dinding kaca apartement ini, aku bisa membuktikannya.

"Hidup seperti roda, berputar terus tanpa menunggu mereka yang terlambat menyadari waktu. Seperti kita." Bayangan permintaan Bundaku dalam balutan tangis mengusikku lagi.

Dia menghela nafas, "Keputusanmu apa?" Suaranya berubah getir dan frustasi.

Aku menunduk, menatap jari-jari kakiku yang dicat merah pucat. Kilasan balik seminggu lalu memenuhi otakku.

"Kak, Bunda mohon... tinggalkan dia. Jalani hidupmu sebagai putri sulung Rahayang. Jangan begini, Kak..."

Bunda, wanita hebat yang mengurus 5 anak di umurnya yang setengah abad menangis di depanku. Wajahnya sayu, tidak ada binar seterang bintang saat berhadapan denganku.

Aku menatap dirinya yang terbalut gamis hijau tua. Dia sangat cantik dengan wajah yang dibingkai hijab.

"Bun..." Suaraku melemah dengan bulir air kesedihan yang ikut turun.

Semuanya tersakiti. Hanya karena satu perasaan. Cinta.

"Kak, meninggalkannya bukan pilihan buruk. Ini pilihan terbaik, bukan hanya untukmu, tapi untuknya juga." Suara serak itu menonjok ulu hatiku.

"Bun... jangan meminta yang tidak bisa aku kabulkan..." Isakan tangis tersedak oleh suaraku sendiri.

Bunda mendekati dan mendekapku, "Nak, ingat Tuhan selalu mempersiapkan pasangan terbaik untuk umatNya." Bisikan itu tidak pernah mengetuk hatiku.

Yang aku tahu, Tuhan menghadirkan cinta hanya untuknya...

"Sayang..." Panggilan itu membuatku menoleh. Derai air mata tidak membuatnya kaget. Dia sudah terbiasa dengan ini.

"Tidak pernah ada restu, Gio." Ucapan itu tercampur dengan nada frustasi.

Hidupku terlalu penuh drama. Awalnya begitu membahagiakan tapi tidak pernah ada akhir untuk menyenangkan mereka sebagai penikmatnya.

Pelukan hangat menutupi rasa kejam dunia. Pelukan yang sama selama 11 tahun ini. Selalu hangat dan menjadi tempat ternyamanku. Hanya karena pelukan ini aku merasa terlindungi. Aku merasa dia menutupiku dari semua yang mencoba menyakitiku. Hanya pelukan ini.

Basah. Bahuku basah. Lagi, aku membuatnya menangis. Dia seorang pria. Pria yang sama hebatnya dengan Ayahku. Tapi dia tidak malu menangis bersamaku. Dia memperlihatkan kelemahan dan kesedihannya di depanku. Dan aku merasa menjadi perempuan paling jahat di kisahku ini.

Tuhan, aku susah melepaskannya. Hanya berpikir untuk mengakhirinya saja aku tidak sanggup. Rasanya menyakitkan, sungguh menyakitkan.

"Ayo kita lari." Perkataanku bukan membuatnya tenang tapi menggetarkan tubuhnya.

Dia terisak. Dan isakannya begitu pilu. Tangannya mengerat di pinggangku. Dan suaraku pecah akan tangisan. Aku lelah menangis, tapi hanya menangis yang bisa aku lakukan saat-saat ini.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang