"Sayang kamu udah makan?" Aku menyelipkan ponselku antara bahu dan pipiku. Sedangkan tanganku masih berkutat membuka bungkus nasi padang yang aku titip pada OB."Untung kamu telfon aku. Aku cari makan sekarang. Kamu udah beli makan siang?"
Aku mencebik jengkel, suamiku ini si pelupa akut saat berhadapan dengan berkas-berkas kantornya. Jika bukan aku yang mengingatkan, dia tidak akan pernah melaksanakannya.
"Aku tadi titip nasi padang ke OB. Kamu mau makan siang di mana?"
"Aku makan di kantin aja. Waktuku mepet banget."
"Kamu, tuh! Santai sedikit kenapa sama kerjaan?"
Dia tertawa pelan, "Nggak bisa Cintaku, aku kan lagi ada proyek besar kali ini."
"Selalu itu alasannya!"
"Jangan marah-marah. Bulan depan kita bisa bulan madu kedua lagi. Jadi sambil nunggu bulan madu, kamu tabung kesabaran dari sekarang."
Aku tersenyum lebar sambil menaruh satu piring nasi padang di atas meja tamu dalam ruanganku, "Kenapa?"
"Karena kamu harus sabar ngadepin si manja ini yang nggak mau turun dari ranjangnya nanti." Bisiknya serak.
Wajahku langsung merah merona. Hanya dengan ucapan mesum seperti itu saja hatiku langsung berdebar tidak karuan. Ini lah, Pratama suamiku. Dan ini lah aku, Sinta.
Berawal dari tidak sengaja menabraknya di gedung wisuda, aku dan dia berlanjut bertemu di kantor yang sama. Awalnya hanya pertemanan biasa sesama teman kantor, sampai akhirnya aku terjalin kerja sama satu tim untuk proyek besar. Keberhasilan proyek yang kami tanganin ternyata sebagai saksi bisu tumbuhnya perasaan antara aku dan Pratama.
Lima bulan menjalin hubungan tanpa status, aku memutuskan resign untuk mencoba keberuntungan di tempat lain. Keputusanku pindah kantor yang membuat Pratama bergerak untuk memilikiku.
Aku dan Pratama menikah saat kami sudah sama-sama siap. Pratama dengan jabatannya yang membanggakan. Aku dengan posisi yang membuatku nyaman.
Perjalanan rumah tangga kami seperti air. Mengalir begitu saja. Adu mulut kerap terjadi hanya karena masalah kecil, tapi kami selalu bisa menanganinya dengan bersikap dewasa.
Jika ditanya apa aku bahagia? Sangat. Aku sangat bahagia memiliki suami yang aku cintai. Dia adalah pujaan hatiku saat mentari menyapa dan rembulan menghampiri.
Pratama—bagaimana aku bisa melukiskan sosok hebatnya? Dia tidak tampan seperti tokoh-tokoh film atau novel yang aku sering lihat. Tingginya standar dengan laki-laki Indonesia. Kulitnya kuning langsat dipadukan rambut hitam yang selalu di sisir rapih ke belakang. Bola matanya cokelat dibingkai tatapan teduh yang selalu bisa menjebakku. Bibirnya tipis kecoklatan karena dia perokok aktif. Perutnya sedikit buncit namun bisa tertutupi dengan baik di balik kemeja licin yang setiap minggu aku setrika. Pipinya sedikit tembam, saat dia tertawa membuatnya menggemaskan.
Itu dia Pratama. Cinta pertama dan terakhirku.
Hanya saja... setiap jalan selalu saja ada lubang yang tanpa kita sadari.
Empat tahun kami tinggal bersama. Empat tahun tidur diatas ranjang yang sama. Empat tahun aku melayaninya sebagai Istri dan dia menafkahi sebagai suami. Tetap, ada kekosongan di antara kami berdua.
Bukan perasaan cinta. Karena, kami saling mencintai.
Kekosongan yang selalu membuatku tertunduk sedih dan malu. Saat acara keluarga besar pihak suamiku, aku harus memasang topeng tebal dan perisai kuat untuk hatiku.