"Lari, Ra! Lari!"Mata Sidney terbelalak dengan nafas menderu kencang. Tubuhnya tegang diselimuti keringat dingin yang bercucuran di wajah dan tubuhnya. Jantungnya berdetak sangat cepat seakan dia baru saja lari mengelilingi lapangan sebanyak sepuluh putaran tanpa henti.
Sidney memegang dadanya yang masih bergerak naik turun karena nafasnya yang terlalu cepat. Tatapannya lurus menatap langit kamar yang gelap.
Dia bermimpi. Mimpi yang selalu sama akhir-akhir ini.
Sebenarnya itu bukan mimpi bagi Sidney, itu adalah potongan ingatan dari kejadian sebelas tahun lalu. Kejadian memilukan yang menjadi titik tertinggi penderitaannya.
Suara melengking dan kesakitan itu selalu Sidney ingat. Sekalipun di dalam tidur, suara itu mengikutinya.
Tanpa bisa dicegah tangis Sidney pecah. Penuh duka dan rindu yang tidak bisa dijelaskan. Membuat potongan kejadian masa lalu menyerbunya.
Sidney bergerak miring, memejamkan matanya yang terus menangis dengan bibir bergetar.
Dia rindu... sangat rindu...
"Ibu... Ibu..." Panggilnya di sela-sela isakan yang memilukan.
Sebelas tahun lalu, Sidney masih bisa menggenggam erat tangan ibunya. Masih bisa merasakan sapuan halus di kepalanya dan doa-doa kecil yang keluar dari mulut ibunya.
Sebelas tahun lalu, walau hidupnya menderita, dia masih bisa tersenyum kala berdua saja dengan ibunya.
Sebelas tahun lalu, dia masih merasakan apa itu kehidupan.
Sebelas tahun lalu, dia masih memiliki wanita yang dia panggil ibu dengan bangga.
Kini, sebelas tahun terlewati, hanya mimpi sebagai tempatnya bertemu dengan sang ibu. Dalam ingatan pada kenangan yang mereka buat. Namun, akhir-akhir ini bukanlah kenangan menyenangkan yang hadir dalam tidurnya. Melainkan, sebuah kejadian yang sampai detik ini belum bisa Sidney terima.
Dalam malam gelap gulita, Sidney masih menangis. Memukul dadanya setiap kali isakan yang dia tahan menjadi gumpalan menyesakkan.
Dia tidak mau bertahan lebih lama, keadilan yang ada dipikirannya harus segera terlaksankan. Menagih pembayaran pada mereka yang pernah menyakitinya.
Maka dari itu, Sidney membuka matanya. Menatap lurus pada sebuah foto kecil yang terlampir pada bingkai plastik di atas nakas.
Sebuah foto yang tidak akan orang-orang percayai, jika itulah dia.
Dalam hatinya Sidney meneguhkan sumpahnya; kalau ia akan membawa pembalasan yang setimpal untuk mereka.
Di tempat lain,
Biru masih bertahan di ruang kerjanya di saat malam semakin larut. Dia masih bertahan duduk di kursi kebanggaannya sambil memandang lurus gelang yang dia ambil dari dalam tas kekasihnya.
Tatapannya tidak terbaca karena hanya di dalam pikirannya dia terus berseteru.
Biru terus mencari segala benang yang bisa menyambungkan sebuah dugaannya. Namun cukup sulit dia menemukan benang itu.
Apa hubungan Sidney dengan gelang itu?
Siapa Sidney?
Siapa pemilik gelang itu?
Siapa—
Biru mengumpat keras karena hanya pertanyaan-pertanyaan itu yang berkeliaran di dalam pikirannya sedangkan tidak ada satupun jawaban yang dia temukan.
Suara pintu terketuk membuat Biru mendengus pelan sebelum melirik jam di dinding dan mempersilahkan masuk asisten pribadinya yang masih setia menungguinya di depan ruangan.