"Kali ini kenapa lagi?" Dita menghela nafas kasar melihat Velin terduduk lemas di atas kursi telur putihnya.
Kali ini Dita tidak terkejut ataupun marah besar seperti pertama kali dia melihat keadaan Velin yang datang hampir babak belur ke apartmentnya. Dia mulai terbiasa melihat kondisi Velin yang seperti ini, mungkin sudah belasan kali Velin datang masuk ke apartmentnya menunjukan luka-luka lebam di wajah ataupun tangannya.
Velin yang sadar karena tatapan malas sahabat pacarnya yang notabene juga menjadi sahabatnya itu hanya menampilkan cengiran khas, "biasa lah, ketauan dugem." kekehnya.
Dita memutar bola matanya malas dan berjalan keluar kamarnya untuk mengambil kotak P3K yang setiap bulannya dia beli karena selalu habis untuk mengobati Velin.
"Vel, lo tuh nggak ada capeknya apa ya? Walaupun Athan sahabat gue, tetap aja gue nggak suka perlakuan dia ke lo. Lo itu cewek, Vel." Kata Dita masuk ke kamarnya dan langsung berjongkok di depan Velin.
Dita dengan cekatan membersihkan luka di lutut Velin yang sudah berdarah. Dia melirik pergelangan tangan Velin yang membiru sambil meringis membayangkan rasa sakitnya.
"Udah biasa." gumam Velin sadar akan raut wajah Dita.
Dita menghela nafas kasar, "Ya, lo, biasa aja di kasarin sama cowok sendiri." gerutunya.
"Gue bisa apa, Dit? Hidup gue dia yang pegang." lirih Velin seraya menggenggam erat pinggiran kursi saat kapas alkohol menyentuh permukaan lukanya.
"Lo bisa putusin Athan." tegas Dita.
"Nggak segampang itu, Dit. Ini salah gue juga."
Dita tertawa hambar, "selalu aja begitu. Sesalahnya lo ini nggak membenarkan Athan yang bisa seenaknya main tangan sama lo! Lo tuh cewek woi!"
"Tapi—"
"—Nggak ada tapi-tapian! Ini udah keterlaluan! Lo selalu punya pilihan buat tinggalin Athan."
Velin mengelus wajahnya frustasi, "gue bisa mati di tangan dia kalo ngomong putus, Dit."
Dita berhenti mengobati Velin dan menatap nanar perempuan berambut hitam panjang di depannya.
"Gue masih kuat, Dit." Velin membalas tatapan Dita dalam berusaha meyakinkan.
"Gue yang nggak yakin... lo belum minta putus ntar lo mati duluan." gumamnya santai.
Velin tertawa geli. Benar kata Dita, sebelum minta putus juga dia akan mati duluan di tangan Athan. Pacarnya sendiri.
Berpacaran dengan Athan Pramudikta bukanlah hal yang mudah. Saat hari lulus SMA dirinya menerima ungkapan cinta dari salah satu murid populer di sekolahnya. Seperti menang lotre, Velin langsung mengiyakan pernyataan cinta Athan saat itu. Padahal dirinya tidak tahu kalau sedang terjun bebas di neraka yang dibuat Athan.
Athan lelaki penuh seribu pesona yang membungkus kelakuan iblisnya. Dia posesif, uh, sangat posesif! Dia tidak segan bermain kasar saat Velin tidak sesuai dengan keinginannya, semua yang ada di diri Velin hanya Athan saja yang boleh mengatur. Velin sadar kalau dirinya seperti boneka kesayangan Athan. Tapi dia hanya pasrah.
Awal mendapat perlakuan itu Velin hanya menganggap wajar, mungkin itu semua adalah sikap bagaimana Athan menunjukkan cintanya, tapi semakin waktu berjalan, Athan semakin memegang kendali atas dirinya. Velin takut, takut karena baru pertama kali memiliki hubungan pacaran seperti ini, tapi dia mencoba membiasakan, belum lagi Athan sudah akrab dengan keluarganya. Bahkan, Almarhum Ayahnya sangat menyukai dan menyayangi Athan seperti seorang anak.
Alasan Velin tidak ingin lepas dengan Athan adalah salah satu nasihan Ayahnya, "Jangan lepaskan dia, Kak. Dia laki-laki yang pantas untuk menjaga kamu saat Ayah nggak ada. Janji ya sama Ayah? Jangan pernah di lepasin." Perkataan terakhir Ayahnya sebelum meninggalkan dunia ini yang membuat Velin semakin berat melepas Athan.