Lily Of The Valley

47.1K 3K 463
                                    


Aku mematung didepan pintu ruang kerja Papi yang tidak tertutup rapat. Aku bisa membayangkan lelaki yang berhadapan dengan Papi sedang menunduk tak berani menatap wajah dingin Papi.

Jantungku berdegup tak karuan. Tapi, apa yang Papi katakan sedikit membuatku senang. Dan ketidakberdayaan lelaki itu membuatku sakit.

Apa dia sangat tidak menginginkanku? Apa aku seburuk itu untuk berada disampingnya?

Hingga suara hening beberapa saat berganti derap langkah, aku buru-buru pergi menjauh dari pintu ruang kerja Papi. Segera aku bersembunyi, memperhatikan sosok lelaki yang keluar dengan bahu menegang dan wajah pucat pasinya. Aku tahu betapa frustasinya dia akan ancaman Papi.

Aku mencintai lelaki itu. Lelaki yang tidak pernah mencintaiku walau aku berusaha sekeras mungkin untuk meluluhkan hatinya. Di matanya, aku hanya seorang atasannya saja. Buka seorang wanita yang mengharapkan cintanya.

Dia tidak sebaik itu untuk mempedulikan perasaanku. Karena aku tahu ada hati yang sedang dia jaga.

Aku berbalik menuju kamarku di lantai atas. Berlari menuju jendela untuk menatapnya yang termenung di depan pintu mobilnya. Aku tahu apa yang sedang berkecamuk dikepalanya. Ancaman Papi tidak pernah menyenangkan. Dan lelaki itu tidak punya pilihan.

Bagaimana ini? Aku sakit melihatnya seperti itu. Tapi, aku sangat mengharapkannya. Walau cara ini sangat kotor, tapi akalku sudah tidak bisa diajak bekerja sama. Aku sangat mencintainya. Sangat. Amat. Mencintainya.

Perlahan aku mundur menuju ranjang karena mobil lelaki itu sudah keluar dari gerbang besar rumahku. Aku kembali memikirkan, apa jika dia sudah ada digenggamanku maka dia akan luluh? Maka kebahagiaan yang aku impikan akan menjadi kenyataan?

Dalam lamunanku pintu kamar terbuka dengan pelan. Aku menoleh mendapati pria setengah baya yang selalu menjadi panutanku dalam hidup. Pria yang menatap dunia dingin tapi menatap hangat keluarga yang ia jaga. Dia adalah Tristan Atmaja.

"Persiapkan dirimu. Kamu akan menikahinya." Ucapnya dengan sorot mata hangat.

Aku tersenyum lebar. "Makasih, Papi."

Papi mengangguk tegas. "Kamu pasti mendapatkan hatinya. Akan Papi bantu semampu Papi."

Aku mengangguk, menunggu hal itu terjadi dan Papi kembali menjadi tamengku. Aku tidak takut dengan apa pun. Karena ada perisai baja yang menjagaku selama ini.

Besoknya aku kembali ke kantor. Papi sudah dua tahun lalu resmi pensiun tapi pemegang saham terbesar masih beliau. Dan segala urusan masih meminta persetujuannya. Sebagai putri keduanya, aku mengikuti seluruh perintah dan kemauan Papi. Aku tidak mau mengecewakannya karena Papi tidak pernah mengecewakanku.

Tapi, hanya Papi yang tak pernah kecewa dengan apa pun yang aku lakukan. Karena, hampir semua orang yang mengenalku sudah sangat kecewa padaku.

"Kenapa kamu lakukan itu, Lara?!" Suara menggelegar itu masuk dengan kasar ke dalam ruanganku.

Dia adalah CEO perusahaan keluarga ini. Dia adalah Abangku, Dean Sastra Atmaja. Sosoknya sangat mengintimidasi dengan tubuh tinggi besarnya, secepat mungkin membuat nyaliku semakin menciut.

"Abang kenapa?" Tanyaku tak peduli kalau sebenarnya tahh apa yang membuat kakak laki-lakiku begitu murka.

Dean menggebrak meja kerjaku sampai gelas kopiku bergetar. Pancaran amarahnya sangat jelas. Sekuat mungkin aku bertahan untuk menatapnya.

"Kamu tau dia bakalan nikah tiga bulan lagi, Lara! Otak kamu ke mana, hah?!" Desisnya dengan urat yang menegang dileher dan pelipisnya.

Aku menelan ludah pelan. Aku tahu. Aku tahu, Bang! Tapi, aku nggak bisa. Teriakku dalam hati.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang