"Kok ke sini?" mataku mengerjap cepat saat keluar kamar mandi menemukan Baskara sudah melepaskan kemejanya di atas tempat tidur.
Aku melirik jam di dinding yang menunjukan pukul delapan malam. Jelas sekali kalau Baskara baru keluar dari kantor.
"Kok nanya begitu?" balas Baskara dengan raut tak suka.
"Ini hari rabu, Bas. Kamu nggak seharusnya di sini."
Baskara membaringkan tubuhnya yang bertelanjang dada tak mempedulikan ucapanku. Aku melotot gemas melihat tingkahnya yang seperti ini dan memilih berlalu untuk berganti pakaian.
Baskara memang seenaknya, padahal dia yang membuat aturan sendiri tentang hari selasa, rabu, kamis, dan jumat adalah waktunya dia berada di rumahnya. Rumah yang ia beli untuk Lili dan mereka tempati. Sedangkan sisa harinya akan ia habiskan bermalam di apartemenku. Tapi, seringnya Baskara melanggar aturan waktu yang dia tetapkan. Dia lebih suka tidur di apartemen ini daripada tidur di rumah megahnya.
Aku tentu sering mengusir dan mengingatkan dirinya, kalau apa yang ia lakukan akan membuat banyak orang curiga, apa lagi pekerja di rumahnya karena tuannya sendiri jarang berada di rumah.
Memang Baskara Hamid terlalu keras kepala dan semaunya.
Selesai berganti baju aku mendapati Baskara yang kini duduk di kursi meja riasku sambil membaca serius kertas dari rumah sakit. Itu adalah hasil pemeriksaan kandunganku pagi tadi.
"Aku senang anak kita sehat." Ucapnya saat sadar aku berada dibelakangnya.
Senyum Baskara begitu berseri-seri dan itu membuatku ikut tersenyum.
Meski kehamilan ini disengajakan oleh Baskara sebagai pengikat agar aku tak pergi darinya, tapi, melihat dia bahagia akan hadir janin kecil ini juga membuat hatiku tersentuh.
"Ada foto usg-nya?" tanya Baskara.
Aku mengangguk dan langsung mencari foto usg di dalam tasku yang terbuka lebar di atas meja rias. "Ini..." Baskara menarikku duduk dipangkuannya.
"Kok... kayak permen kapas." Sahutnya.
"Apanya yang permen kapan?" bingungku.
Dia menunjuk pola putih di dalam usg. "Ini. Kayak permen kapas 'kan?"
"Yang ini Baskara!" gemasku padanya dan menunjuk di mana letak yang benar.
"Oh!" serunya terkejut. "Kecil sekali..."
Aku mengangguk. "Udah ada detak jantungnya."
"Masa? Kamu dengar?"
"Belum. Mau dengar bareng kamu."
Dia memeluk perutku sambil menyenderkan dagu di bahuku. "Aku akan cari dokter kandungan baru yang bisa dipercaya dan nggak bocor soal hubungan kita. Biar aku bisa dengan tenang temanin kamu cek anak kita."
Meski Baskara memilihku sekali pun, dia juga sangat berharti-hati pada publik. Ini karena Baskara harus menjaga citranya yang tanpa celah. Dan juga martabat keluarganya apa lagi belum pernah ada skandal yang mengotori citra mereka.
Hanya akulah aib yang ditutupi mati-matian oleh Baskara.
"Menurutmu dia akan jadi anak laki-lagi atau perempuan?" tanya Baskara mengelus lembut perutku yang masih datar.
"Aku nggak tau."
"Kamu maunya apa?"
"Apa aja yang penting sehat."
"Aku mau perempuan... biar cantik kayak kamu." dia mengecup bahuku yang terbuka. "Hidupku lengkap punya dua bidadari."
"Sekarang pun kamu punya dua kalo kamu lupa."