The Longest Ride (1)

63.7K 2.8K 114
                                    

4 tahun yang lalu di tempat ini, di sebuah kamar apartement elite hadiah ulang tahun dari Ayah, ada kejadian yang merubah hidupku.

Aku mengamati seluruh sudut ruangan kamarku. Tidak pernah berubah sedikitpun. Walaupun ditinggal selama 4 tahun, untungnya kamar ini selalu dijaga kebersihannya oleh jasa kebersihan yang aku sewa.

Aku tidak akan membiarkan tempat penuh sejuta kenangan ini terabaikan begitu saja. Walaupun ingatan terakhir tentang kamar ini begitu pahit, aku tidak bisa menyangkal kalau kamar ini selalu menjadi bayanganku selama melarikan diri ke London.

Dengan lembut aku mengusap ranjang yang aku duduki. Lembutnya kain satin membuatku memejamkan mata. Bayangan 4 tahun lalu kembali memasuki diriku. Rasanya masih begitu nyata.

Helaan nafas tidak meredakan degup jantungku yang terus berdetak saat menginjakan kaki di sini.

"Rasanya masih seperti kemarin." gumamku kini sambil bangkit dari pinggir ranjang.

Benar. Rasanya masih seperti kemarin. Dan sekarang aku harus menghadapi segala kemungkinan didepan mataku. Mungkin aku harus bertemu lagi dengan dia.

Dan kali ini, aku tidak bisa menghindar. Cukup 4 tahun aku menghindar dari seseorang. Aku memilih itu bukan karena keegoisanku atau kejahatanku. Tapi, aku menghindar agar dirinya bisa bahagia dengan pilihannya. Aku benci untuk menjadi penghalang kebahagiaannya.

Sambil melangkah keluar dari kamar, suara ponsel nyaring menguasai ruang tengah. Karena hanya aku sendiri di dalam apart, jadi suara itu terasa memekakkan telingaku.

Aku merogoh tas kulitku yang berwarna hitam dengan logo brand terkenal. Sedikit perjuangan untuk mencari benda pipih itu.

Saat melihat siapa yang menelfonku, aku langsung mengernyit karena tidak ada nama pemanggil.

"Halo?"

"Buka pintunya. Aku didepan." Ujaran datar tapi penuh penekanan itu sontak membuatku membeku.

Suaranya masih sama. Berat dan menggoda. Penekanan katanya juga masih sama. Dan pemilik suara dan kendali dalam kalimatnya itu adalah Putra Edo. Laki-laki yang tidak aku harapkan bertemu secepat ini.

Demi Tuhan aku baru tinggal di Jakarta selama 3 hari dan dia sudah tahu keberadaanku. Tahu darimana laki-laki ini?

Dengan sedikit gusar aku melangkah menuju pintu apartement. Sebelum membuka pintu, aku menghirup nafas sejenak untuk meredakan degup jantung diriku yang semakin gugup.

Satu tarikan nafas mantap saat aku membuka pintu dengan pelan.

Dia berdiri menjulang tinggi dengan pakaian kantornya. Jas hitam melekat sempurna ditubuhnya. Dasinya pun masih terikat erat di lehernya. Rambut hitamnya dibiarkan berantakan. 4 tahun berlalu juga membuat dia semakin tampan. Ah, belum lagi matanya yang selalu menatap tajam lawan bicaranya itu. Secara keseluruhan, Putra Edo masih sama.

"Hai." Sapaku dengan salah tingkah.

Dia menatapku dari atas ke bawah menilai penampilanku. Dan sekarang aku bertanya-tanya apakah penampilanku begitu buruk karena seharian ini aku berada dibawah terik matahari ikut melihat proyek milik Ayahku.

"Ehem. Kenapa ngelihatnya gitu banget, sih." Aku membuka pintu sedikit lebar, "Ngapain berdiri di situ aja, ayo masuk!"

Karena rasa gugup ini semakin gila, aku mencoba menutupinya dengan berjalan kembali masuk ke ruang tengah. Edo mengikutiku dalam diam dan menutup pintu. Sampai di ruang tengah aku memilih duduk di sofa dan menyalakan televisi.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang