The Golden Cage (3)

12.9K 1.5K 132
                                    

Aku kebingungan saat menerima panggilan dari Ibu. Beliau menangis tersedu-sedu disebrang sana.

"Ibu mau Lyka ke Bogor?" tanyaku akhirnya karena Ibu tidak berhenti menangis.

"Kamu juga, Ly! Apa susahnya kamu telpon Bapakmu! Sekarang sudah begini kan! Udah capek-capek Ibu pertahanin warismu, kamu yang susah dekat dengan Bapakmu!"

Aku menghela nafas. Masalah ini lagi...

"Kapan hari kamu ketemu anak gundik itu? Bapakmu cerita misuh-misuh ke Ibu!"

"Bu— "

"Sekarang Bapak mu kalo udah lepas tangan ke kamu gimana toh, Ly!" pekik Ibu.

"Bagus kalau begitu!" tegasku yang seketika membuat tangis Ibu berubah pelan.

"Ibu sama Bapak udah cerai. Seharusnya udah nggak perlu ada hal yang berkaitan dengan dia lagi. Lyka udah ada suami, tandanya sudah ada yang mengurus Lyka. Ibu nggak perlu khawatir karena dari dulu Lyka nggak butuh dia." Cecarku dengan nafas memburu.

Aku benar, sedari dulu aku memang tidak butuh kehadiran pria yang harus aku sebut Bapak. Karena memang tidak ada perannya di dalam kehidupanku selain menjadikan aku properti sandiwaranya.

"Aku nggak butuh bajingan tua itu, Bu!" tekanku.

"LYKA!" Ibu berteriak marah, "ngucap kamu!"

Tidak untuk pria tua itu.

"Bukan ini anak Ibu! Kamu itu juga pikir, tanpa Bapakmu belum tentu hidupmu mulu dan enak. Mau seburuk apapun, kita tetap butuh Bapakmu!"

"Kalau memang butuh kenapa juga Ibu cerai sama Bapak?! Karena warisan eyang udah turun?! Biar Ibu pisah dan bisa ancam Bapak terus?! Itu kan?! Iya kan?!" balasku tak kalah tegang.

Tanganku bergetar hebat dengan keringat yang muncul di keningku. Di sebrang sana cukup hening setelah aku mengeluarkan sebuah pemikiran yang selama ini aku simpan sendiri saat di mana Ibu meminta cerai dengan Bapak.

Karena waktunya sangat tepat saat itu. Seminggu warisan eyang dari pihak Ibu turun, Ibu langsung menggugat cerai Bapak. Awalnya dengan tuntutan perselingkuhan, Ibu kekeuh ingin menuntut Bapak dengan puluhan bukti yang dia punya. Namun selang sebulan, tuntutan Ibu berubah yaitu karena ketidakharmonisan juga ketidakcocokan lagi dalam berumah tangga.

Bukannya marah seperti biasanya, Ibu malah tersenyum puas saat aku mengintip beliau yang duduk berhadapan dengan Bapak di ruang kerjanya itu.

"Jaga mulutmu ya, Ly, ngomong sama Ibumu ini. Jangan kayak orang kesetanan kamu teriak-teriak pada Ibu." Geramnya rendah yang langsung membuatku ciut dan bergetar halus.

Punggungku sudah menegang dan dingin, ini pertama kalinya aku bersikap diluar batas pada Ibu. Secepat emosi datang, secepat itu juga penyesalan menghantam.

Sudah baik Ibu mau berjuang buat kamu. Pergi dari sana biar kamu nggak dikasihanin para abdi dalem, diacuhkan Bapakmu. Ibu bawa kamu ke Bogor biar kamu bisa tenang dan ikhlas sama semuanya. Begini balasanmu pada Ibu.

Belum sempat aku meminta maaf, Ibu langsung mematikan panggilan.

Ini untuk pertama kalinya aku dan Ibu adu urat. Dan yang aku rasakan sangat campur aduk.

Aku kembali menghubungi Ibu, tapi seketika ponselnya tak aktif.

Menelan ludah, aku berjalan menuju taman belakang. Sudah pukul dua siang. Keadaan taman seperti biasa, menangkan untukku.

Taman inilah yang terus menjadi tempat aku mengeluarkan sesak batin dan pikiranku. Dengan menarik nafas perlahan dan melemaskan otot punggung, aku bisa merasa tenang sejenak.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang