Love In Parallel

37.8K 2.3K 434
                                    

2022

Sagara menatap pada gundukan tanah merah yang masih basah. Langit begitu gelap meski jam masih menunjukkan pukul 10 pagi. Suasana masih ramai penuh duka, kematian seorang wanita muda ini memang meninggalkan banyak luka. Tangisan lirih sedari tadi tak selesai-selesai meski sudah hampir setengah jam penguburan selesai.

Meski begitu, Sagara tetap diam di tempatnya. Berdiri sedikit jauh dari makam yang dikelilingi oleh sekolompok perempuan dengan pakaian hitam-hitam. Sambil menarik nafas, Sagara memberanikan diri untuk maju sambil menggenggam sebuket bunga di tangannya. Dia harus pulang segera, tanda hujan akan turun semakin terlihat oleh petir yang bersahutan.

Empat perempuan yang masih belum menerima kematian itu mendongak kala Sagara berdehem kecil, tanpa aba-aba ke empat perempuan itu langsung berdiri dan menatap bengis Sagara.

"I just--" Sagara langsung berhenti bicara saat perempuan berambut paling cerah yaitu merah jambu mengangkat tangan untuk menamparnya.

Sejujurnya, Sagara tidak pernah menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini. Beberapa orang yang masih berada disekitar makam pun terkejut melihat seorang lelaki bertubuh tinggi dan tegap itu di tampar perempuan.

"She loves you." Geram Meredith, si rambut merah jambu, "What have you done, Boss? You killed her!"

Sagara menghela nafas, "Meri... saya nggak bisa." Ucapnya lelah.

"Tapi, yang Bapak lakukan terlalu jahat. Seandainya Bapak bisa menahan diri, ini semua enggak akan terjadi." Tari perempuan berkacamata akhirnya membuka suara. Matanya lurus menatap Sagara tak gentar.

Ketiga perempuan lainnya mengangguk setuju, membuat Sagara lagi-lagi menghela nafas lelah dan kalah. Jauh di dalam lubuk hati Sagara, dia menyangkal kalau kematian perempuan yang sudah terkubur ini karenanya.

Ini semua menyangkut urusan hati. Di mana saat hati bermain, tidak ada yang bisa mengaturnya.

"Maaf jika semalam saya keterlaluan dalam berbicara. Tapi, kalian berempat tidak merasakan apa yang saya rasakan. Hanya sebatas ini yang bisa saya lakukan. Maafkan saya."

Sagara bukan pengecut, tapi juga tidak mau terlihat keras. Dengan itu dia menunduk menimbang buket bunga di tangannya. Matanya melirik pada keempat perempuan yang masih sesunggukan di hadapannya. Dengan pelan dia menaruh buket bunga mawar yang segar di atas makam.

Sedetik dia berdiri tegap, sedetik itu juga bunga terlempar jauh. Joana, perempuan yang berdiri disamping Tari menatap geram pada Sagara, membiarkan suasana semakin menegang.

"Dia benci mawar!" Ketusnya langsung berjongkok dan menangis menatap batu nisan yang terpaku kokoh.

Sagara menarik nafas dalam-dalam, menahan kesabaran juga keterkejutan yang baru saja terjadi. Meredith dan Tari membuang muka pada Sagara juga ikut berjongkok meratapi makam. Tersisa satu perempuan yang menatap Sagara dengan kekecewaan juga kesedihan.

Liona menyeka pipinya yang basah saat matanya saling bertautan dengan mata Sagara. Dia menggeleng pelan, dan Sagara tahu kalau itu adalah tanda kekecewaan yang besar di mata Liona.

Melihat kekecawaan itu, bahu Sagara melorot. Dia bisa menerima semuanya. Kemarahan juga tuduhan. Tapi dia tidak sanggup menatap pancaran redup di mata Liona untuknya.

Apa lagi saat perempuan berambut sebahu itu memutus tatapan mereka lalu ikut berjongkok dengan ketiga temannya. Yang bisa Sagara lakukan adalah mundur menjauh, karena dia memang harus pergi. Kehadirannya hanya membuat canggung keadaan. Apa lagi sebagian orang yang masih berada di area makam mengenalnya.

Mengenakan kaca mata hitamnya lagi Sagara berbalik pergi. Belum sampai menuju mobilnya yang terparkir, Sagara terpaku pada pemandangan sepasang suami istri yang sudah tua saling bergandengan dengan wajah muram penuh duka. Si pria mendekap sebuket bunga lily putih dan disebelahnya--istrinya mendekap bingkai foto seorang perempuan yang amat cantik.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang