The Golden Cage (1)

24.9K 2K 156
                                    

"Suamimu nggak pulang?"

Aku berdehem sedikit, mencoba melegakan tenggorokanku sebelum menjawab pertanyaan Ibu, "keluar kota, Bu, udah dari selasa kemarin dinas 4 hari. Sabtu pagi pesawatnya pulang."

Ibu mengangguk kecil tetap melanjutkan kegiatannya yang menginspeksi rumah. Santimayu, sosok wanita paruh baya dengan rambut bondol yang ditata rapih didepanku adalah ibu kandungku. Sifatnya memang kaku dan kolot, belum lagi Ibu sangat tegas padaku. Mengingat aku adalah anak tunggal perempuan, banyak orang mewajarkan sifat posesif ibu padaku.

Bahkan diumur 27 tahun dan sudah setahun menikah saja, Ibu tetap mengawasiku. Meski Ibu menetap di Bogor dan aku di Jakarta sekalipun, Ibu rajin menyambangi dan melakukan inspeksi mendadak pada rumah tanggaku.

Omong-omong soal rumah tangga, mengingat sifat dan sikap Ibu, tentu saja aku adalah hasil dari perjodohan. Di ulang tahun yang ke 26, alih-alih mendapat hadiah berupa barang yang menyenangkan, aku malah mendapat titah untuk menikah. Tak jauh-jauh pilihan calon suami dari Ibu, karena seperti lagu pacarku memang dekat lima langkah dari rumah, suami yang dipilih Ibu memang tetangga kami.

Namanya Ilhan Rembayung. Dia lebih tua 6 tahun dariku. Sejak kecil aku yang selalu dikekap di rumah, membuat pertemuanku dan Mas Ilhan sebelum kami dijodohkan juga hitungan jari. Selain hari raya, hanya di kondangan orang komplek kami bisa bertemu. Makanya aku tidak akrab dan juga sangat asing saat harus mencoba pendekatan singkat dengannya.

Mas Ilhan itu anak rantau sedari dulu. Lulus SD dia diangkut neneknya ke Surabaya sampai SMP, sudah lulus seragam putih biru dia malah merantau ke Bandung dan balik lagi kuliah di Surabaya. Lulus kuliah dia mengambil S2 di kampus swasta Jakarta sambil bekerja. Pulang ke Bogor hanya karena cuti bersama dari pemerintah alias hari libur tanggal besar. Dan hanya saat-saat itu aku melihatnya. Itu juga aku tidak tertarik padanya meski di komplekku Mas Ilhan ini terkenal misterius dan idam-idamkan oleh kumpulan Ibu-Ibu komplek.

Awal pendekatan dengan Mas Ilhan sangat canggung. Belum lagi perbedaan usia yang lumayan jauh, aku tadinya berharap kalau memang dijodohkan, calonku tidak berbeda jauh dengan umurku. Karena aku takut jika perbedaan umur yang jauh, perbedaan pikiran akan berpengaruh pada pernikahan kami.

Sayangnya keinginanku tidak mungkin dipertimbangkan lagi, karena keinginan Ibu lebih penting. Tidak menerima penolakan, Ibu menyusun perjodohan kami dengan cepat dan mudah. Dalam tiga bulan aku dan Mas Ilhan mencoba pendekatan untuk saling mengenal, Ibu langsung menggelar pesta pernikahan.

Mungkin, beberapa orang heran kenapa Mas Ilhan mau-mau saja dijodohkan. Mengingat Mas Ilhan ini termasuk si most wanted-nya di komplek kami. Secara fisik dia melewati kata standar, karir terbilang oke, dan agama juga termasuk taat. Aneh sekali anak sulung keluarga Rembayung itu cukup nurut menerima perjodohan ini.

"Sebelum suami kamu pulang nanti, kamu ke salon. Perawatan paket pengantin kalo perlu biar semuanya dirawat. Habis itu masakin makanan kesukaan Mas Han. Pulang dari salon kamu belanja bahan makanan ya, Ly. Ibu lihat kulkas kamu mulai kosong." Ibu memberikan lirikan tajam sambil memotong kentang.

Aku yang disebelahnya mengupas bawang segera mengangguk. Kami sedang menyiapkan makan siang di dapur. Ibu tidak suka makanan yang dibeli dari luar, beliau lebih baik susah di dapur karena katanya lebih nikmat makanan yang dimasak dengan tangannya sendiri.

Berbanding terbalik dengan aku yang semenjak menikah malah lebih suka order masakan online. Toh, Mas Ilhan tidak terlalu mempermasalahkan. Selain dia orangnya tidak pernah protes, Mas Ilhan juga jarang di rumah karena pekerjaannya yang mengharuskan dia ke kota-kota lain.

Aku tidak tahu pasti pekerjaan Mas Ilhan itu seperti apa, tapi yang aku tahu Mas Ilhan ini kepala anggota yang bertanggungjawab pada mesin-mesin besar. Dan juga basis perusahaan Mas Ilhan adalah pembangkit listrik.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang