Mungkin ini namanya ujian.Itu yang terus aku katakan di dalam hati sejak kepulanganku dan Ardan dari rumah sakit.
Aku meliriknya yang sedari tadi memilih diam seribu bahasa. Raut wajahnya sama mendungnya dengan langit di atas. Dia masuk ke dalam kamar kami di lantai dua, aku membiarkannya begitu saja.
Duduk di ruang keluarga, aku mengusap wajahku yang terasa dingin. Sejujurnya aku kebingungan juga tidak tahu harus melakukan apa untuk suamiku itu.
Berita hari ini terlalu mengejutkan dan aku tahu ini pukulan yang sangat berat untuk Ardan.
Mataku menatap pada potret pernikahan kami yang berupa lukisan besar di atas televisi. Memakai adat Palembang, aku dan Ardan tersenyum di dalam lukisan itu.
Tak terasa pernikahan kami sudah jalan ditahun kelima.
Senyumku mengembang tipis, mengingat masa pacaran kami sejak dikenalkan dari salah satu teman. Hubungan kami seperti hubungan orang-orang lainnya. Pdkt selama dua bulan lalu pacaran. Masa pacaran pun mentok di angka 3 tahun sampai aku dan dia mantap naik ke jenjang yang lebih serius.
Setelah dihitung ternyata sudah delapan tahun kami bersama. Umurku juga sudah melewati kepala 3 begitu pun Ardan.
Aku menarik nafas panjang, menyenderkan kepalaku yang terasa berat di kepala sofa agar lebih nyaman.
Delapan tahun bersama sebenarnya tak ada masalah besar yang kami hadapi. Ribut-ribut kecil pernah tapi tak pernah sampai pisah kamar atau kabur ke rumah orang tua. Ardan yang lebih dewasa dua tahun di atasku lebih bisa mengontrol diri di setiap permasalahan kami. Dan aku juga sering menekan egoku agar tidak memperpanjang pertengkaran kami.
Delapan tahun kami bersama, dan ujian yang sebenarnya datang begitu tiba-tiba.
Aku bangkit dari sofa setelah sadar sudah satu jam lamanya melamun. Ardan juga sedari tadi tidak keluar dari kamar tidur, dan sepertinya aku harus menyusul suamiku itu.
Jika, membicarakan cinta, tentu saja kami saling mencintai. Beberapa kali orang ketiga mencoba masuk sejak kami berpacaran, tapi, kami tetap teguh memegang kesetiaan. Saat menikah pun tidak sedikit godaan datang kepadaku atau Ardan, tapi, lagi-lagi cinta menjadi penghalang godaan di luar sana.
Aku bersyukur, sangat amat bersyukur karena dipernikahan ini kami sangat mendewakan kesetiaan.
Dan masalah yang sedang kami hadapi juga bukan tentang orang ketiga.
Masalah ini...
Lebih rumit. Lebih membingungkan. Dan lebih menyakitkan.
"Ardan?" Aku memanggilnya pelan setelah membuka pintu kamar kami.
Ardan berbaring miring memunggungiku. Tubuhnya terlihat kaku dan tak nyaman.
Perlahan aku naik ke atas ranjang, menyusup ke dalam selimut dan memeluk tubuhnya yang lebih besar daripada aku.
Aku tahu dia tidak tertidur. Aku tahu dia masih memikirkan perkataan dokter tadi.
"Aku selalu di sini." Bisikku lembut mengusap dadanya.
Tarikan nafas beratnya terdengar. Lalu hening lagi.
Disaat aku sibuk dengan pikiranku, dia membalas bisikanku. Bisikan yang mau tak mau membuat air mataku meluruh mendengarnya.
Bisikannya terdengar begitu menyakitkan karena bersumber dari hati yang sakit dan kecewa.
"Aku cacat."
Pelukanku mengerat padanya. Wajah aku tempelkan di tengkuknya yang tertutupi rambutnya yang sudah mulai memanjang.
"Aku cacat, Audy."