Namaku Saqil. Umur 32 tahun dengan status lajang. Pekerjaanku di ibukota sangat menguras waktu dan pikiranku. Bukan hanya itu, kesehatanku juga menjadi taruhannya. Akhir-akhir ini memang perusahaan sedang sibuk karena menjalani dua tender besar dengan jarak waktu yang berdekatan. Akibatnya, aku sebagai tim arsitektur harus mengeluarkan tenaga ekstra.Sebulan yang lalu, tubuhku menyerah. Aku terkena tipes. Untung saat itu tugasku sudah selesai semua. Dan karena itu semua, aku memilih cuti sementara. Aku butuh udara segara untuk membersihkan pikiranku. Aku butuh ketenangan agar jiwaku terlahir kembali.
Salah satu teman terdekatku, Tawal, mengajakku berlibur ke kampung halamannya di utara Bandung. Lebih tepatnya di desa suntenjaya. Tempatnya begitu sejuk dengan orang-orang yang begitu ramah.
Aku dikenalkan pada keluarga Tawal. Rumah Tawal ini luas kebelakang dengan 5 kamar tidur. Aku langsung nyaman di sana walaupun suasana pedesaan yang tidak modern begitu kental.
Tawal memiliki dua saudara laki-laki, Ibunya atau yang dipanggil Ambu begitu baik kepadaku. Sedangkan Abah seorang perternak sapi yang begitu ramah penuh banyolan.
Suatu pagi saat menyantap singkong rebus di beranda rumah bersama Fakih adik bontot Tawal, aku melihat seorang gadis menaiki sepeda ontel memakai celana pendek hitam dan kaos kebesaran berwarna cokelat.
"Teteh Nina!" Faqih, remaja 15 tahun itu memanggil keras gadis itu.
Gadis yang aku perhatikan itu menoleh dan tersenyum begitu lebar. Dia juga melambaikan tangannya sambil mengayuh pedal sepeda.
Aku terpaku melihat senyum lalu lesung pipit yang begitu jelas menambah kadar kecantikannya. Rambutnya agak kecokelatam dikepang satu kebelakang. Dia sangat cantik.
"Siapa itu, De?" Tanyaku setelah gadis itu sudah jauh dari pandangan kami.
Faqih menyengir menatapku, "Teh Nina. Anaknya pak kades. Masih sodaraan sama keluarga Abah." Jelasnya, "Cantik ya, A? Dari jakarta juga tuh."
Aku mengangguk spontan. Dia memang cantik. Darah sunda sangat kental diwajahnya yang lembut dan ayu.
"Gaya-gayanya juga anak jakarta banget."
"Iya, A, ke sini juga liburan. Sering sih Teteh ke sini, soalnya tunangannya juga ada di sini."
Aku terkejut mendengarnya. Tapi masuk akal juga mendengar perkataan Faqih. Gadis secantik itu tidak mungkin kosong status.
"Siapa tunangannya emang?" Tanyaku penasaran.
"Anaknya Pak Mahmud yang punya ternak susu itu, A. Bosnya Abah."
Aku mengangguk tanda mengerti. Sungguh beruntuh laki-laki itu. Dari sekali pandang, Nina akan menjerat siapapun dengan kecantikannya. Kulit seputih susu dengan surai cokelat yang indah. Lalu senyumnya... mengingat senyumnya segala fantasi liarku muncul begitu saja.
Buru-buru aku mengenyah pikiran itu. Bagaimanapun juga aku manusia berakal. Tidak boleh aku selancang itu memikirkan gadis yang tidak aku kenal.
Hampir seminggu aku berada di rumah keluarga Tawal. Keluarga hangat yang selalu menyebarkan energi positif padaku. Sejujurnya, aku tidak mau pergi dari sini. Biasa tinggal sendirian di Jakarta membuatku rindu pada suasana seperti ini.
Aku tidak memiliki Ibu tapi memiliki Ayah. Ibuku sudah meninggal sejak aku berumur 10 tahun, dan Ayahku menikah lagi saat aku berumur 20 tahun. Aku merestui Ayah menikah karena beliau juga butuh pendamping yang mengurusnya sampai hari tua. Ayahku tinggal bersama istrinya di Manado, tanah kelahirannya. Mereka tinggal di rumah peninggalan Nenekku. Setiap libur besar aku menyempati pulang ke sana.