Jika bisa mengulang waktu, keinginan Sidney hanya satu. Tidak pernah mengambil beasiswa masuk ke SMA swasta terkenal pada masanya saat itu. Jika bisa mengulang waktu, keinginan Sidney hanya satu. Menjauh sejauh-jauhnya dari kelompok berpengaruh di sekolahnya. Jika bisa mengulang waktu, keinginan Sidney hanya satu. Tidak datang ke gedung belakang sekolah. Dari ketiga keinginan itu, bisakah terulang lagi? Setidaknya hanya satu yang terkabulkan.Sidney mengharapkan satu keajaiban. Mengulang waktu, walau hanya satu kali kesempatan. Dia akan memperbaiki yang salah. Memperbaiki hal yang menghancurkan hidupnya.
Awan mendung di kota Jakarta mendekati musim hujan menjadi teman baik Sidney kini. Ia sudah berdiri hampir satu jam lebih menatap penuh rindu pada makam yang seminggu sekali dirawat oleh penjaga makam.
Di sana tertulis nama Sang Ibu yang sangat dicintainya. Cinta yang ibunya berikan lebih besar dari siapapun yang menawarkan cinta padanya. Tapi, cinta yang ibunya miliki ternyata memiliki harga mahal. Kehilangan. Itu yang harus Sidney terima.
"Kamu udah selesai?" Suara lembut yang terdengar sangau menyentak Sidney. Perlahan dia menoleh, menatap kosong pada perempuan yang suka rela menampung jiwanya yang hancur.
Sidney mengangguk dan berbalik tanpa kata. Claire menatap sendu bahu tegang Sidney yang menjauh. Sebelum mengikuti langkah perempuan cantik itu, Claire menyempatkan diri merapalkan doa kecil.
Semoga Anda tenang. Putrimu sedang berjuang untuk keadilanmu.
***
"Sidney, dipanggil Nyonya Baginda Ratu Helen." Bisik Sindi melewati tubuh Sidney dan kembali duduk dibangkunya.
Sidney mengerutkan dahinya tampak bingung. Sedangkan, Sindi tidak memiliki jawaban untuk perempuan disampingnya.
"Mau tanya soal nasabah kamu kali." Ucapnya tak yakin.
Sidney mengangguk dan berdiri terburu-buru hingga beberapa barang di mejanya sedikit berantakan.
"Pelan-pelan aja, cantik! Kalo nenek lampir itu berulah, biar Akang yang maju!" Celetukan dari Yuzuf di kubikelnya membuat Sidney tersenyum malu sedangkan teman-teman lainnya langsung berdecak malas.
"Semangat!" Seru Mona mengepalkan kedua tangannya untuk Sidney.
Dalam hati, Sidney begitu tenang. Berbanding terbalik dengan sikap yang dia tunjukkan seperti anak kucing penakut. Tentu saja itu semua kamuflase seorang Sidney. Dia harus dikenal sebagai perempuan manja dan ceroboh. Bukan Sidney yang dingin dan mampu melakukan hal kejam.
"Permisi, Bu..." Panggil Sidney pelan. Ia juga tidak tahu apa yang Helen mau hingga memanggilnya.
Perempuan didepannya tampak kacau dengan wajah lesu yang pucat dan bayangan hitam di bawah matanya. Sidney memperhatikan itu dengan tatapan polos.
Helen balas menatap Sidney dengan tajam tak sukanya. Entah kenapa, semenjak Sidney bergabung di divisinya, dia langsung tidak menyukai perempuan itu. Sidney memang disukai seluruh karyawan. Perempuan muda itu cantik dan supel dengan bumbu suara yang manja membuat siapa pun memperhatikan dia lebih. Tapi, tidak dengan Helen. Sekali bertatapan dengannya, Helen langsung membenci Sidney.
"Kenapa kamu bertahan di sini?" Helen menatap tajam perempuan yang memakai setelan kantor merah maroon di depannya.
Sidney mengerjap beberapa kali. "Maksud Bu Helen?"
"Kamu tau saya membenci kamu. Kenapa kamu bertahan?" Desisnya semakin muak pada wajah polos Sidney.
Dalam hatinya Sidney sudah memaki banyak kata kasar untuk Helen. Tapi dia tetap bergeming tanpa kata. Sengaja bertingkah seperti Sidney yang manja dan penakut agar Helen semakin menunjukkan wajah aslinya.