21+
Sial! Aku benar-benar marah saat ini. Sudah 3 hari ini laki-laki yang berstatus pacarku terus mendiamkanku. Aku jengkel hanya karena masalah sepele dia mulai mendiamkanku. Aku lebih senang dia menumpahkan amarahnya di depan wajahku daripada mendiamkanku.
Masalahnya aku mati kutu kalau dia memasang wajah datar tak pedulinya itu. Huh, dasar lelaki tak berperasaan! Mentang-mentang aku menerima dia yang dingin dan posesif, dia selalu bersikap seenaknya saat marah.
Coba kalau aku yang marah padanya. Yang ada dia hanya diam dengan wajah datarnya itu seakan merasa tidak bersalah. Arrgh! Bodohnya aku tetap mencintainya dengan amat sangat dalam!
"Shit! Padahal gue cuman daftar volunteer tapi dia marah berhari-hari! Mana gue tau kalo ketua acaranya si Ruska!" Geramku sambil memotong steak di piring dengan kuat.
Sahabatku Valencia yang menemaniku makan malam hanya terkekeh menanggapi kekesalanku, "Lagian, Geb, lo udah tau punya laki sensitif kayak pantat bayi masih aja nggak liat-liat sikon!"
"Ya, mana gue tau, Val..." Desahku lelah.
Menjadi Gebiza Putri Maharani, remaja berumur 20 tahun yang terlahir sebagai pewaris tunggal keluarga Maharani, aku dituntut untuk aktif dalam segala kegiatan sosial yang diselenggarakan kampus. Karena tuntutan itu yang membuatku mendaftarkan diri di acara Bakti Sosial yang diadakan organisasi fakultas.
Sebelumnya, tidak ada masalah dengan seluruh kegiatan yang aku ikuti. Tapi, semenjak aku memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Banu, semua kegiatanku harus diseleksi sedemikian rupa. Kalau dalam kegiatan tersebut ada orang-orang yang pernah memberi kisah pada hidupku—terlebih laki-laki—maka aku harus berpikir dua kali, kalau bisa sampe sepuluh kali agar jawabannya tidak.
Masalahnya, kegiatan sosial yang akan aku ikuti untuk beberapa hari kedepan ternyata diketuai oleh mantan pacarku saat SMA dulu. Dan karena itu juga, Banu mendiamkanku. Sudah tiga hari ini aku hanya diberi wajah temboknya. Dia bilang, aku sengaja melakukan ini karena masih ada perasaan pada Ruska, kakak tingkat yang keturunan Jepang-Jawa itu.
"Asli deh, gue stress banget mikirin Banu!" keluhku lagi, "gue beneran di diemin, Val! Kalo gue tiba-tiba mundur ya dari acara, bokap nyokap pasti tau. Dan yang ada gue kena ceramah sepanjang jalan kenangan."
Valen tertawa heboh mendengar keluhanku. Sahabat sedari orokku ini memang memiliki mulut sebesar sumur. Tapi, walaupun dia sosok yang heboh, aku sangat nyaman padanya. Dia tempat terbaikku untuk berkeluh kesah walaupun direspon seperti ini.
"Udah, lo telanjang aja depan dia. Ntar juga kicep." Sarannya diiringi seringai jahil.
Aku melotot kearahnya. Aku jadi ingat dulu pertama kalinya Banu marah padaku. Dan saat aku berpikir dengan bertelanjang di depannya akan merubah pikiran Banu. Tapi, bukan mendapat terkaman, aku malah di diamkan lebih dari satu minggu! Sehari saja aku sudah resah, ini lebih dari seminggu!
Aku dan Banu sudah menjalani hubungan selama satu tahun. Dan selama itu aku memahami sifat kekasihku yang kelewat gila posesifnya. Aku tahu hubungan ini tidak sehat karena terlalu banyak aturan, tapi cinta membutakanku. Aku belum pernah mencintai laki-laki lain sedalam aku mencintai Banu.
"Lagian, lo mau berantem sama Banu juga dia tetap disamping lo kan. Santai aja apa, ntar itu laki lo capek sendiri. Lo pakek baju sexy-sexy rawr aja di depan dia. Gue yakin banget dia nggak bakal betah marah lama-lama."
Saran gila Valen ku hadiahkan jitakan keras di keningnya. Bisa-bisanya dia menyuruhku seperti itu. Padahal, Valen tahu sendiri, bahuku terlalu terbuka saja, Banu akan kesal setengah mati. Tapi... aku juga bukan Gebi si kucing penurut. Mungkin, saran Valen yang ini harus aku coba dulu. Semenjak Banu menyuruhku untuk berpakain lebih sopan dan tertutup, aku selalu menurutinya. Kali, ini aku akan menentangnya. Aku hanya ingin memancingnya untuk berbicara. Karena sudah tiga hari ini dia tidak mengeluarkan sepatah katapun!