Athan menarik selimut perlahan agar perempuan diatas ranjangnya tidak terganggu oleh gerakannya. Dia memastikan selimut itu tetap membungkus hangat Velin yang terlelap dengan wajah sembabnya.Sekitar sejam yang lalu, Velin mengakui semuanya. Menjawab segala pertanyaan yang menjadi batu besar di dalam hati Athan.
Selama ini, Athan selalu bertanya-tanya, di mana kekurangannya hingga Velin mampu mencuranginya?
Dan jawaban Velin, sama seperti jawaban para pengkhianat hubungan biasanya.
"Aku ngerasa kesepian semenjak kamu dan yang lain udah nggak ada di sekitarku. Semenjak Ayah meninggal, kamu semakin jauh. Pertemuan kita semakin jarang. Aku nggak bisa nahan hati aku pas dia datang ke aku, Than. Aku—aku tau ini jahat. Ini egois. Tapi, aku menyesal. Demi Tuhan aku nyesel selingkuh dibelakang kamu."
Athan sedikit banyak mengerti situasi yang saat itu Velin rasakan. Kekasihnya ditinggal oleh cinta pertamanya—Sang Ayah, bersamaan orang-orang yang selalu disekelilinginya juga pergi mengejar mimpi. Dita yang satu-satunya teman perempuan Velin tidak bisa menemaninya untuk bertahan lebih lama di dalam kampus. Athan, Dipta dan Ben juga sibuk membangun usaha mereka.
Waktu itu juga Athan menyesalinya. Seharusnya dia tahu kalau kekasihnya sangat membutuhkan dirinya. Tapi, karena ambisi juga dia melonggarkan perhatiannya pada Velin. Sampai akhirnya, kekasihnya bermain api dengan adik tingkatnya sendiri.
Sedih? sangat. Kecewa? Jangan ditanya. Marah? Pasti. Tapi, dia mencoba mengerti walaupun sakit.
Athan menahan dirinya, sampai mengalihkan emosinya dengan cara yang salah. Jika dia marah, bukan kata-kata putus yang dilontarkan, melainkan otot tangan yang menguat seakan memberitahu kalau dia berada ditepi kesabaran.
Ada satu kejadian yang menghantam Athan pada kesadaran, saat melihat pelipis Velin berdarah akibat dorongannya sampai perempuan itu terhempas ke ujung meja rias di kamarnya. Athan panik setengah mati karena darah yang merembes begitu banyak. Kekasihnya itu sampai shock dan tidak mau berbicara dengan dirinya selama seminggu lebih. Semenjak itu, Athan memutuskan untuk berobat.
Awalnya Athan ragu, dia masih mencoba mengontrol emosinya sendiri. Tapi, semakin lama dia semakin menyakiti dirinya sendiri. Ternyata pengendalian emosinya semakin buruk. Jika bukan pelipis yang berdarah, maka bibir yang menjadi korban selanjutnya. Athan sangat frustasi setelah melakukan itu semua. Dan langkah besar yang dia ambil adalah ke psikolog secepat mungkin.
Putusnya hubungan mereka sebulan yang lalu menjadi kesempatan untuk Athan berbenah diri. Dia menanamkan di dalam pikirannya jika mereka jodoh, pasti akan bertemu kembali. Untuk sekarang, Athan harus berubah demi Velin. Dan dia berharap, kekasihnya juga berubah menghargai perasaan yang dia miliki. Mulai sekarang, Athan akan mencintai Velin secara maksimal, agar kekasihnya tidak meragukan dirinya lagi.
Damn, God! I love her so much! Teriaknya dalam hati setelah puas menatap wajah cantik yang sembab diatas ranjangnya.
Athan keluar dari kamar setelah melirik jam di dinding, ternyata sudah pukul 12 malam.
Saat dia memasuki meja makan, dia melihat sahabatnya sedang duduk dalam diam. Athan mendekat, memilih duduk disampingnya.
Asap rokok mengepul memenuhi ruang makan, balkon dekat meja makan juga dibuka besar-besar agar udara masuk mengaburkan asap rokok.
"Tough day, right?" Gumam Ben tanpa mengalihkan pandangannya pada langit diluar balkon.
Athan mengangguk saja ikut menarik sebatang tembakau dari bungkus putih diatas meja. Bibirnya mengapit rokok lalu menghisapnya secara dalam.