The Story Of Beautiful Mistresses

46.8K 3.2K 355
                                    

"Vio, dapet bunga nih!"

Aku menoleh cepat menatap rekan kerjaku menenteng sebuah buket mawar merah yang begitu cantik.

"Ada pengirimnya?" Tanyaku pelan seraya mengambil alih buket mawar dari pegangan Erna.

Mataku memincing saat membaca kartu yang tersemat diantar bunga-bunga cantik itu.

Bahkan Mawar Kalah Cantik Denganmu.

-A.T-

"Dari siapa?" Intip Erna penasaran dari balik bahuku.

Aku mengedik pelan, "Klien aku kayaknya. Adi Trimojo."

"Adi Trimojo? Yang anggota Dewan itu?"

Aku mengangguk kecil. Ya, inisial AT yang aku kenal hanya beliau. Adi Trimojo adalah klienku sejak dua minggu lalu, aku yang mengatur keuangan serta memperhatikan seluruh hartanya. Sebagai konsultan, tentu saja aku sering bertatap muka dengan klienku. Dan dari semua klienku, Adi Trimojo pria 54 tahun itu yang terang-terangan menatapku dengan penuh maksud.

Jadi, bunga mawar yang ada di tanganku ini tentu saja pembukaan untuknya.

Aku menghela nafas, untung sedang jam istirahat dan diruangan hanya ada aku dan Erna. Aku tidak mau rekanku yang lain tahu, selain malu tentu saja aku tidak suka dengan hal seperti ini.

"Kamu mau, Er?" Tanpa minat aku langsung menawarkannya yang langsung disambar antusias oleh Erna.

Aku ikhlas memberikan buket mawar yang aku yakin harganya bisa seharga tasku, mengingat nama florist yang tercantum adalah florist terkenal di ibukota.

"Enak, ya, Vi, jadi kamu. Udah cantik, pinter, bahenol, suaranya alus... klien kamu aja banyak yang lewat permintaan khusus." Erna meracau sambil mencabut satu bunga mawar tanpa menatapku, perkataannya sama sekali tidak membuatku senang, "apalah aku? sebulan capai target aja udah senang banget."

Meski terselio pujian, aku lebih merasa terhina.

"Rezeki udah ada yang ngatur, Er, tinggal kitanya aja yang usaha." Balasku datar lalu kembali duduk memunggungi Erna yang mejanya berada dibelakangku.

"Tergantung jenis usahanya juga, Vio." Celetukkan itu membuatku berhenti mengetik angka yang harus aku hitung.

Entah ini jenis ledekan atau sarkasnya, aku tidak menyukai kalimat yang terucap dari mulut Erna. Alih-alih membalasnya, aku memilih diam. Meski, umur kami terbilang sama, Erna tetap seniorku diatas satu tahun. Dan aku masih menaruh hormat padanya dan memilih tak peduli pada sifat jeleknya yang suka menyindir.

Erna tidak mengerti jalan hidup apa yang aku tempuh. Baginya, Seorang Viona Harun bisa melakukan apapun dengan jentikan jari.

Dia hanya melihat apa yang ingin dia lihat tanpa mengenalku lebih dalam.

Bukan hanya Erna, tapi, sejak aku dibangku sekolah seluruh teman wanitaku selalu menatapku seperti itu.

Ada kilatan merasa tersaingin, iri, dan cemburu di mata mereka padaku yang akhirnya ditutupi saat mereka berhadapan denganku.

Aku tidak mengerti awalnya, kenapa merasa terancam pada kehadiranku? Kenapa aku yang tidak melakukan apapun malah dijadikan bahan omongan kumpulan para gadis?

Kadang mereka memujiku, katanya aku cantik dan bla bla bla, tapi dilain hari mereka akan berkata, "enak ya soalnya kamu cantik bla bla bla."

Apa maksudnya?

Fisik ini ada sejak aku lahir. Bukan aku yang menginginkan dada membusung dan bokong sekal pada tubuhku. Bukan aku yang menginginkan leher panjang dan bibir tebal yang seperti mereka elukan.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang