Dalam kehidupan, selalu ada rahasia yang tidak pernah bisa terungkap. Setiap manusia, punya sebuah cerita yang tidak pernah bisa diceritakan.
Sama halnya seperti aku.
Semua orang mengenalku sebagai Bima Wicaksono, anak sulung dari Edwin Wicaksono, pemilik perusahaan kontruksi besar di Indonesia.
Yang mereka tahu aku adalah seorang lelaki beruntung dan sukses. Profilku begitu membanggakan meski dengan tidak adanya skandal. Bukan hanya aku, keluargaku pun begitu.
Kami jauh dari berita jelek, meski berita bagus juga jarang terliputi.
Mereka tidak tahu... siapa sebenarnya aku.
Ingatan terlempar saat dulu masih berumur 5 tahun. Duduk memangku ensiklopedia, mencoba menghafal nama-nama tumbuhan yang belum pernah aku jumpai.
Bertahun-tahun yang lalu. Sebuah ingatan yang tidak pernah bisa aku lupakan.
Di sampingku ada gadis kecil 4 tahun yang asik bermain boneka hello kittynya.
Aku tidak terganggu sama sekali dengan celotehannya yang cempreng. Aku masih tenang membaca buku besar itu.
Sampai seorang wanita dewasa berjongkok dihadapanku, menatapku dengan senyuman seindah mentari.
"Nama kamu siapa?"
Aku mengerjap pelan. Menikmati wajah cantik yang menatapku mengirimkan sejuta kasih sayang.
"Bima..."
"Bima, artinya anak yang berani." Ucapnya dengan senang. "Kamu... mau ikut ibu?"
"Ibu?"
"Iya... Ibu." Wanita itu tersenyum lebar, membuatku ikut tersenyum dan mengangguk pelan.
Tangan halusnya mengusap pipiku, seketika aku melihat air mata terjatuh dipipinya.
"Bima. Bima Wicaksono."
Namaku tersebut, dengan lirih dan penuh penantian. Hingga akhirnya aku tahu, hari itu adalah hari di mana aku bukan hanya sekedar Bima.
Tapi, aku Bima Wicaksono.
Mengamit dua tangan pasangan dewasa yang menjanjikan kebahagiaan untukku. Dua orang itu juga bersumpah tidak akan pernah mengecewakanku. Janji dan sumpah itu, sampai sekarang tidak pernah mereka ingkari.
Sampai dua malaikat kecil yang mereka nantikan bertahun-tahun hadir, posisiku tidak pernah bergeser.
Aku masih tetap menjadi Bima anak pertama mereka.
Jadi...
Itulah rahasiaku.
Ceritaku.
Yang tidak akan pernah bisa aku katakan pada siapapun.
***
Seminggu sudah aku tahu Ale ada dirumah ayah. Pulang dari rumah sakit, sampai sekarang aku belum juga melihat wajah istriku itu.
Selama ini keadaannya hanya aku tahu dari mulut dokter atau perawat yang keluar dari ruangannya.
Ayah mertuaku melarang keras aku atau keluargaku masuk melewati pintu abu-abu itu. Dan aku memilih mengalah mengikuti amarah yang ayah miliki.
Aku sudah mengecewakan ayah karena menyakiti putri semata wayangnya. Padahal aku bersumpah di depan pria paruh baya itu untuk tidak pernah menyakiti Ale.
Hanya dengan bersabar dan menunggu yang bisa aku lakukan. Tidak ada kata menyerah untuk Ale, dia adalah bagian dari hidup dan hatiku.
Kini, di depan rumahnya, dibawah awan mendung aku berdiri di depan pintu cokelat rumah ayah.