To The Bone (Ale)

32.3K 2.9K 428
                                    



Aku merenung menatap sebuah cincin bermata berlian kecil. Di dalamnya terukir nama dengan goresan indah.

Cincin ini mempengaruhi sistem kerja jantungku. Rasanya sakit, menyesakkan. Tapi, harus diakui, hatiku berteriak setiap membaca ulang ukiran nama itu.

Kalau waktu bisa diulang kembali, aku ingin meminta saat awal pertemuan kami bermula. Aku ingin saat itu aku hanya melihatnya kagum sebagai narasumber yang aku undang di acara kampus. Bukan diam-diam meliriknya dan bergerak salah tingkah setiap dia hanya dua langkah di dekatku.

Kalau di pertemuan pertama aku tidak berdoa dalam hati pada Tuhan memintanya menjadi kekasihku, mungkin takdir tidak bergerak seperti ini.

Dipikir-pikir, jika dia jujur menikah dan memutuskanku, aku yakin rasa sakitnya tak jauh beda. Aku akan mengutuknya dan membencinya. Atau aku bisa berbuat gila seperti menculiknya hanya untuk diriku.

Aku tertawa kecil. Gila rasanya setelah tiga hari pertemuan di Hotel itu.

Bagaimana kalau ciuman penuh luka itu berlanjut? Bagaimana jika ternyata kami melakukan hubungan badan?

Untungnya, tidak. Aku tidak bisa membayangkan lebih lanjut. Tambah lagi luka baru untuk kami.

Disetiap keputusan ada konsekuensi. Besar kecilnya masalah, selalu akan berdampak.

Seperti Bima, apa yang dia tuai itu yang dia dapatkan.

Cinta memang menyulitkan saat terpaksa dipisahkan. Sama seperti saat aku menarik paksa seutas tali. Kulitku pasti merasakan sakit saat menarik paksa tali itu.

"Kamu udah siap-siap?" Suara Ayah membuatku menoleh.

Dengan senyuman patah aku mengangguk, melirik koper besar yang terbuka di kaki ranjang.

"Ayah akan menyusul secepatnya." Satu-satunya pria yang menepati janji mencintaiku tanpa luka itu ikut duduk dilantai.

Matanya sayu dengan kantong mata besar. Rambutnya juga mulai memutih dan menipis. Senyum hangatnya selalu berhasil membuatku merasa tenang di dunia ini.

"Kak, ini pilihan yang kamu mau. Harus kamu terima dan jalanin. Nggak apa bersedih, tapi, bisa secukupnya kan? Ayah nggak tenang loh kalo kamu begini." Ucapnya lembut mengambil jemariku yang masih memutar balik cincin emas putih itu. "Ayah cuman punya kamu, Kak. Dari kamu menangis kencang di rumah bidan, Ayah berjanji selalu bahagiain kamu. Tujuan hidup Ayah hanya satu, jangan sampai melihat kamu sedih. Karena, Ayah akan melakukan apapun, Kak. Apapun buat kamu kembali jadi putri ayah yang periang."

"Aku masih jadi putri ayah yang periang." Lirihku pelan menatap mata tuanya, "selalu."

"Iya, kamu akan selalu jadi putri ayah. Kamu putri kebanggan ayah."

"Ayah..." Aku menggenggam tangannya dengan kuat, "apa ayah pernah terpikirkan nikah lagi setelah bunda meninggal?" Cicitku.

Dari dulu, aku tidak pernah ingin membahas tentang almarhum ibu kandungku. Bukan apa-apa, tapi aku tidak mau melihat Ayah bersedih.

Ayah sering sekali menangis merindukan Bunda, tangis rindu itu sangat menyayat hatiku bahkan menyalahkan kehadiranku yang menyebabkan Bunda pergi selamanya. Tapi, hebatnya seorang Ayah, dia tidak pernah mengatakan yang menyakitkan tentang betapa sialnya aku karena menyebabkan istri tercintanya pergi.

Ayah menggeleng tegas. "Ayah mencintai bunda kamu meski kebersamaan kami hanya satu tahun lebih. Tiga bulan menikah, kamu hadir. Ayah bahagia bisa bersama perempuan yang bisa menerima ayah apa adanya saat itu. Padahal dulu ayah cuman lelaki biasa menjadi arsitek bebas. Sampai akhirnya bunda kamu tidak bisa bertahan lebih lama, ayah terpukul. Tapi... ada kamu, Kak. Cahaya hidup ayah selain bunda kamu. Melihat kamu, selalu membuat ayah merasa cukup. Nggak ada ruang lagi untuk perempuan lain karena udah terisi kalian berdua."

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang