The Emerald

24.1K 2.5K 849
                                    

Emerald Purwija.

Aku terus menunduk fokus pada isi piringku. Sedangkan di meja makan panjang ini, semua orang tetap asyik membahas tentang proyek yang tak aku mengerti.

"Ini bisa jadi Taman Bermain terbesar di Indonesia, iya 'kan, Pa?"

Suara Mama terdengar antusias saat menuangkan air putih pada Papa. Dan Papa tentu saja langsung mengangguk setuju, "Beruntung Papa punya kamu, Yon."

Sahutan pujian lainnya datang dari Om dan Tanteku yang ikut makan malam hari ini. Suasana semakin ramai dengan celotehan para sepupu yang ikut mengagumi lelaki disampingku.

Aku melirik Mas Dion yang tersenyum lebar mendengar pujian dari Papa. Menjadi menantu pertama di keluarga ini memang banyak tuntutan yang harus Mas Dion hadapi.

Tapi, sejauh ini, di pernikahan kami yang baru berjalan tiga bulan, Mas Dion sudah memenuhi segala tantangannya.

Tak tanggung-tanggung, proyek pembangunan area Taman Bermain yang digadang-gadang Taman Bermain terbesar di Indonesia itu adalah ide dari kerja keras Mas Dion.

Dibawah naungan perusahaan keluarga, Mas Dion bisa merealisasikan ide yang sangat menguntungkan kami ini.

Jika ditanya apakah aku bangga. Tentu saja aku sangat bangga. Meski pernikahan kami datang dari perjodohan, aku tidak berdusta kalau aku menyukai suamiku.

Bahkan, sebelum menikah aku sudah menyukai suamiku ini. Dia supel, ramah, dan berwibawa. Membuat orang naif dan pendiam sepertiku mudah sekali untuk jatuh pada pesonanya.

Meski tak tahu apa perasaan ini terbalas. Aku cukup senang kalau Mas Dion menjadi suamiku. Ini karena aku sempat berpikir aku akan menjadi perawan tua. Pengalamanku dengan lelaki sangat sedikit. Mas Dion mau menikahiku saja sudah layaknya keajaiban di keluarga ini.

Mengingat....

"Maaf aku datang terlambat."

Itu dia datang.

Si Tuan Puteri sesungguhnya.

"Ini dia datang. Penyelamat Purwija." Suara Papa kini berkali-kali lipat antusias, "udah makan, Nak?"

Silviana Purwija, si sulung alias kakakku datang masih lengkap dengan setelan kantorannya yang mewah.

Meski dari kantor dan pulang malam pun, penampilannya seperti orang baru mandi. Tidak terlihat kucel. Beda denganku yang diam di rumah saja tetap seperti orang belum keramas tiga hari.

Aku menarik nafas banyak-banyak. Mengisi amunisi untuk satu jam ke depan.

"Kamu dan Dion memang juara, Sil! Nggak bisa Papa berkata-kata buat kalian berdua."

Satu meja ini tertawa kecuali aku.

Ya, proyek yang mereka bicarakan ini, selain Mas Dion sebagai pemilik ide, ada Silviana sebagai tenaga tambahan yang sangat amat membantu.

Posisinya sebagai Dirut tidak mencegah Silviana untuk terus terjun pada proyek-proyek yang ada. Kakakku itu terlalu lincah dan bersemangat.

Sifatnya yang seperti itu menjadikan dia sebagai kesayangan dan kebanggaan di keluarga kami.

Silviana duduk di kursi sebelah Mas Diyon yang sedari tadi kosong, seakan memang disiapkan untuknya.

Aku semakin menunduk dan menulikan telingaku kala pujian-pujian di meja ini semakin berlebihan.

Karena aku juga tahu jika sedikit lagi pujian ini akan menjadi panah busuk yang mengarah padaku.

"Ema udah liat proyeknya?"

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang