21+
"Nama?"
"Sabina Julina, Pak." Aku menjawab pelan.
"Umur?"
"25." Kali ini disertai kegugupan.
"Alamat?"
"Jalan. Merak Putih. No.21." Aku menelan ludahku berat.
"Alasan ingin menjadi wanita malam di Butterfly?"
"Saya—" Aku terdiam lama. Mencoba mencari alasan kenapa aku duduk dihadapan laki-laki jabrik yang berpakaian ala disko 80an.
"Hm?" Dia menurunkan kacamata bacanya dan menatap menuntut jawaban.
"—Hanya ingin." Akhirnya hanya itu yang menjadi jawabanku.
"Menarik." Dia tersenyum miring sambil membolak-balikan foto bugilku. "Martha!" Suaranya melengking memenuhi ruangan kubus yang membuatku sesak sedari tadi.
Seorang perempuan dengan pakaian super sexy berwarna kuning menyala yang terpadu dengan kulit seputih mutiara muncul.
Cantik. Itu adalah penilaianku melihatnya. Lihat matanya yang setajam elang itu membuatku gugup.
"Kenapa?" Dia menatap malas laki-laki yang sedang menatapku dengan lekat.
"Anak baru." Ucapnya seraya mengedikkan dagunya kearahku.
Martha—perempuan cantik itu berjalan mendekat. Dia memilih bersender di pinggir meja yang otomatis langsung berhadapan denganku. Aku bisa melihat celana dalam merah darahnya saat dai mengangkat sebelah kakinya saling bertindihan.
"Nama?" Suara itu tenang. Suaranya membawaku ke dalam dimensi lain. Seperti berada di tengah taman dengan pemandangan danau luas yang diapit dua gunung.
"Nama?" Tanyanya ulang saat aku sibuk dengan pikiranku.
"Sa—bina." Jawabku kaku.
"Sabina." Dia mengucap ulang namaku dengan pelan. "Perawan?"
Aku terperangah dengan pertanyaan frontal itu. Dia menangkap kegugupanku dan tersenyum tipis.
"Range harga, Bos?" Martha berdiri membelakangiku.
"Oke, sih. Badannya mulus cuman ini tanda lahir dekat pinggul agak mengganggu." Perkataan itu sedikit membuatku ciut.
Di pinggul kananku ada tanda lahir sebesar telur ayam berwarna merah muda. Aku tidak tahu kalau tanda lahir itu menjadi kekurangan tubuhku.
Martha menilik beberapa lembar fotoku. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya. Puaskah dia?
"20-30 mungkin bisa." Ucapnya datar.
20?30? juta kah maksud dia?
Martha berbalik lagi menghadapku, "berdiri." suruhnya yang langsung aku lakukan.
Aku menyadari tinggiku hanya sebatas matanya walaupun sudah memakai sepatu sebagai penopang ukuran tubuhku.
"Manis." Pujinya sambil tersenyum tipis.
Ada perasaan menggelitik yang muncul. Bahkan wajahku terasa panas.
"Urus. Siapin dia sampai ada yang book. Ajarin deh sana buat puasin orang gimana!" Si Boss pergi keluar tanpa menoleh lagi.
Martha menganggukan kepalanya beberapa kali seakan membuat kesepakatan di dalam kepala cantiknya.
"Gue Martha. Pelacur senior di sini. Karena Boss udah ngasih amanat lo ke gue, jadi lo ada dibawah pengawasan gue. Ngerti?"