To The Bone (Bima)

24.7K 2.8K 376
                                    



Aku baru saja menghubungi kekasihku, perempuan manja yang sedang sakit flu itu terus merengek mengatakan betapa inginnya dia hadir di acara ulang tahun adikku.

Aku tertawa menanggapinya dan semakin menggodanya kalau dia kehilangan momen makan enak di hotel tempat acara ulang tahun Irvan.

"Kamu jangan nakal!" Rajuknya dengan suara sengau.

Aku tertawa lagi. Hariku begitu berwarna memiliki Khalela sebagai kekasihku. Perempuan 23 tahun itu memiliki watak manja dan egois. Kadang sangat pencemburu dan posesif. Tapi, aku menikmatinya. Malah aku semakin menyayangi dirinya.

Khalela, dia berbeda lima tahun denganku. Aku kira dia lelaki saat melihat nama kontak yang menghubungiku 'Ale'. Ternyata dia adalah perempuan berponi yang memiliki gigi gingsul mempermanis senyuman dibibirnya.

Aku mengenalnya saat mengisi seminar dikampusnya dan dia adalah ketua panitianya. Mulai dari kekaguman melihat hasil gambar bangunannya dan bagaimana caranya dia berbagi pandangan membuat aku semakin tertarik mendekatinya.

Di umur ke 22 dia masih belum menyelesaikan kuliahnya. Itu karena katanya dia cuti semester untuk mengurus ayahnya yang jatuh sakit akibat penyakit dalamnya.

Butuh waktu hampir 4 bulan aku meyakinkannya bahwa aku pantas menyandang panggilan kekasih untuknya.

Untungnya, perasaanku terbalas.

Aku lelaki kaku dan selalu terlihat serius, jatuh cinta pada perempuan manja, cerewet, dan pencemburu akut.

"Nanti aku ke rumah kamu. Ayah kapan balik emang dari Kalimantan?"

"Benar, ya? Aku tungguin, loh!" Serunya mulai semangat, "ayah pulang lusa. Bi Ani juga baru balik besok. Aku sendirian banget ini, loh, Bim." Lagi, suaranya merengek disebrang sana.

Aku terus menjanjikan akan langsung ke rumahnya setelah acara ini.

Tadi, aku nekat ingin membawanya kemari. Mengingat ibuku sangat menyayangi Ale, juga keluargaku yang mengenal baik kekasihku itu. Bahkan, sedari tadi adikku bertanya kenapa aku tidak menjemput Ale.

Tapi, saat aku mendapat pesan gambar berisi fotonya dengan wajah pucat dan hidung yang memerah, aku berpikir ulang.

Kekasihku butuh istirahat karena dia sangat mudah terserang penyakit saat cuaca sering bergonta-ganti.

"Bim, kok nggak masuk?"

Aku menoleh setelah menghembuskan asap rokok dari bibir. Tersenyum tipis pada sosok teman semasa kecilku, Renata.

"Nanti, Ren. Lagi..." Aku menggoyangkan ponselku yang masih terhubung pada panggilan Ale, "biasa si manja lagi sakit." Kekehku.

Renata memasang wajah masam lalu menggeleng pelan. Dia tahu dengan jelas gaya pacaranku dengan Ale.

Aku pernah mengenalkan Ale pada Renata. Tapi, sepertinya Ale menaruh cemburu pada teman semasa kecilku itu.

Terbukti raut wajahnya yang tertekuk saat kami berada di jalan pulang.

Ale memang pencemburu, tapi dia tidak pernah melontarkan langsung perasaannya. Dia akan menyimpannya dan menunjukkan lewat raut wajah saat kami sedang berdua saja.

Aku mengenalnya degan baik karena hampir satu tahun kami bersama.

Sambil menunggu puncak acara, aku menemani Ale yang katanya sedikit lagi akan tidur. Saat dia sudah tertidur aku baru bergabung pada yang lain.

Aku tahu gaya berpacaranku seperti anak remaja. Tapi, yang seperti ini membuat hidupku semakin berwarna. Aku bosan hidup monoton selama ini. Dan Ale hadir membawa banyak perbedaan.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang