BramantyoDi umur muda memang seharusnya menikmati waktu. Jangan sampai saat tua nanti tidak ada cerita untuk anak dan cucu yang menyenangkan. Seperti yang seharusnya, kenakalan remaja adalah hal yang wajar untuk kami lakukan. Meski, banyak sekali banyak norma dan adab yang kami lewati demi kesenangan.
"Ultah lo dua minggu lagi mau rayain di mana, Bram?"
Aku tidak terlalu mendengar apa yang Domi bilang. Suara musik EDM terlalu keras di ruangan temerang dan cahaya kelap-kelap ini.
"Hah?! Lo bilang apa?!" Akhirnya aku berteriak padanya padahal dia ada disampingku.
Dominic atau Domi salah satu teman terdekatku. Kami berada di jurusan kuliah yang sama.
Domi mendekat dan berbicara disamping wajahku. "Ultah lo bego! Dua minggu lagi! Rayain di mana?"
Oh, dia menanyakan hal itu. Aku mengangguk mengerti, sambil berpikir club mana yang harus menjadi tempat perayaan ulang tahunku.
Dua minggu lagi umurku akan genap 22 tahun. Dari umur 17 tahun, aku udah biasa merayakan ulang tahun di club-club ternama ibukota. Hampir semua orang yang aku kenal akan aku undang. Dan setiap tahunnya, aku tidak akan memberi pesta yang sederhana atau payah. Tidak ada sejarahnya Bramantyo membuat pesta seperti perayaan ulang tahun bocah SD.
"Ngga tau! Ntar gue pikir-pikir lagi!" Jawabku akhirnya.
Domi tahun kemarin membantuku untuk menyiapkan pestaku. Dia cukup perhatian setiap aku ingin membuat suatu acara, dia akan membantu. Domi juga memiliki teman yang tersebar di mana-mana, sehingga tiap aku membutuhkan sesuatu, aku akan bertanya dahulu padanya. Itulah keuntungan memiliki Dominic yang social butterfly.
Malam ini seperti malam minggu biasanya, keadaan Norman salah satu club ibukota begitu ramai. Untuk masuknya saja meski hari biasa harus melakukan reservasi terlebih dahulu untuk mendapatkan tempat. Pemilik Norman adalah teman Domi, jadi aku dan yang lainnya selalu disediakan satu tempat setiap ke sini.
Aku menatap Leo, Agil, Petra, dan Emil teman lelaki yang lainnya. Kami satu jurusan yang sama tapi Leo berteman denganku sejak SMA. Mereka asyik menggilir satu botol Jagermeister yang ketiga malam ini. Di meja sudah banyak botol-botol lainnya yang sudah tersisa dikit. Aku menyesap gelas whiskeyku dan menatap keadaan sekitar yang samar-samar.
Dunia malam sudah hal biasa bagiku, segala kenakala sudah pernah ku coba dari yang ringan hingga berat. Meski harus kena hantam Ayah tiap ada panggilan sekolah atau polisi, aku tidak pernah menyesal melakukannya.
Ayah sendiri mungkin sudah lelah mengomel padaku hingga akhirnya dia membiarkanku melalang buana dengan catatan tak boleh ada panggilan polisi.
Well, terserah kata Ayah. Yang penting kartu kreditku tak dia bekukan lagi.
Saat ini aku berkuliah di salah satu universitas swasta terkenal karena harga masuknya. Seluruh mahasiswa di sana adalah orang berada. Seperti teman-temanku di sini, dua di antaranya adalah anak Jenderal yaitu Leo dan Emil. Petra adalah anak pemilik showroom mobil sport sedangkan Agil sendiri Ibunya mantan mentri tahun lalu. Kalau Domi hanya tinggal bersama kakak perempuannya yang merupakan pengusaha muda yang sukses.
Aku?
Ayah memiliki perusahaan kontraktor besar yang merupakan warisan dari turun-temurun. Salah satu karya terbesarnya adalah The Wonderland, salah satu taman bermain sekelas dengan Disneyland. Salah satu taman bermain terbesar se Asia Tenggara.
Sedangkan Bunda adalah direktur perusahaan ritel besar. Bunda sedari dulu memang wanita karier, namun dia tidak pernah melalaikan tugas sebagai ibu rumah tangga.