Gila!Satu kata yang menggambarkan kondisi terkini. Aku baru saja pulang dari rumah dokter Vije untuk mengantisipasi keributan Mahesa yang menjemput calon istrinya Nessa. Bukannya melerai keributan aku malah diberi info yang sangat mengejutkan!
Raline, dokter yang beberapa bulan ini selalu menempeliku dan Mahesa. Dia cantik secara fisik, tapi sifatnya itu selalu membuatku mengernyit heran. Terlalu... apa, ya? Murah adalah kata-kata kasar. Mungkin, lenjeh kata-kata tepat.
Aku melihat dimata bulat indah itu penuh sekali tipu muslihat. Dia menempeli Mahesa dan suka mendesak sahabatku itu untuk bertemu berdua. Dan saat ada aku, dia selalu menatapku penuh binar-binar harapan. Aku selalu menepis pemikiran kalau dia menyukaiku karena, shit! Aku tidak suka dengannya!
Aku memiliki tunangan rahasia yang disembunyikan dari publik oleh Mamaku. Bukan karena malu atau aib. Tapi ini adalah permintaan Almarhum Oma. Katanya lebih baik disembunyikan untuk menguji kesetiaan kedua belah pihak.
Tunanganku, Delia Sahara. Gadis keturunan Turki-Indo yang sedang sibuk dengan studinya di Australia. Dia mengambil jurusan kedokteran gigi. Dia memang lahir dan besar di sana. Kabarnya, dia akan ke Indonesia. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan nantinya tapi bisa dipastikan kalau dia akan bekerja. Yang aku harapkan adalah dia memilih rumah sakit tempatku sebagai tempatnya menyalurkan ilmu.
Suara ponselku berbunyi. Karena ringtone yang berbunyi itu berbeda maka aku langsung menepikan mobilku.
"Hallo?"
"Heh!"
Aku mendesah berat. Tunanganku ini memang perangainya seperti kucing garong. Galak sekali. Sifat dan wajah sangat kontras.
"Galak banget, Sayang. Kenapa?"
"Kamu di mana?!"
"Aku di jalan mau ke rumah sakit. Kenapa, Cinta?"
"Bohong!" Teriaknya sampai aku menjauhkan ponselku.
"Beneran, Sayangku~ ini aku abis dari rumah dokter Vije. Tadi aku harus mengantisipasi keributan gara-gara si Mahesa itu!" Jelasku sambil terbawa kesal mengingat tingkah bar-bar Mahesa.
Baru kemarin dia membuat dokter anestesi yang kemayu itu hampir pingsan di depan ruang operasi, lalu tadi dia menghajarnya lagi. Aku yakin wajah dokter Vije luar biasa sakitnya.
"Ngapain kamu ikut-ikutan orang ribut!? Kurang kerjaan! Balik ke rumah sakit!"
"Ya, ini aku mau balik kerumah sakit, Sayangku. Kan kamu nelpon." Sabar, Ray. Dia balik langsung kawinin aja biar tunduk kayak si Nessa tuh.
"Buruan balik!" Dia menutup panggilan sepihak begitu saja.
Ah, Delia. Wanita yang pertama kalinya mampu membuatku tersenyum bodoh saat berkenalan. Padahal pertemuan kami bisa dihitung jari saja. Alias 6 kali. Saat pertama kali berkenalan denganya, aku sudah sibuk menjadi seorang Dokter. Dan itu di saat Delia berada di pertengahan studinya. Bisa dibilang itu 4 tahun yang lalu. Sekarang umurku 32 tahun. Dan dia berumur 27 tahun. Dan diumur ini kami sudah siap melangkah ke jenjang pernikahan. Yang pasti, aku ingin mendahului Mahesa. Itu rencana bombastis yang selalu aku banggakan ke Mahesa.
"Liat nanti! Gua bakalan ngelakuin something yang bikin lo tercengang!" Ucapku bagaikan sumpah itu selalu aku katakan saat Mahesa bertanya kapan aku akan menjalin hubungan dengan perempuan.
Selama ini hidupku jauh dari kata anak ibukota gaul sekali lirik perempuan langsung ada di kiri dan kanan. Sepanjang hidupku ini dihabiskan dengan tujuan bagaimana caranya mencapai cita-citaku sebagai dokter. Dan akhirnya, semua itu berakhir menjadi pengantar kebahagiaanku sebelum tidur.