Aku meremas rok kain batik yang terpasang ketat dan tampak serasi dengan kebaya Bali modern yang aku pakai. Dalam diam aku memakai jubah wisudaku dibantu Bunda sebelum turun dari mobil.Sedikit linglung sebenarnya karena tiga hari yang lalu aku tidak ikut gladi resik, jadi aku tidak tahu harus ke mana berkumpul.
Dengan sekali tarikan nafas, setelah berpisah dengan keluargaku yang akan menonton di tempat para undangan, aku berjalan gugup masuk semakin dalam ke gedung.
Seminggu ini, aku lebih memilih berada di rumah dan mengobati rasa sakit pasca putus hubunganku dan Junot.
Hera sempat membombardir ku dengan pesan dan telfon. Aku hanya membalasnya mengatakan aku butuh istirahat sejenak.
Jihan juga sempat mengirimkan pesan dua kali. Yaitu minta maaf dan menanyakan apakah aku putus dengan Junot atau tidak. Pesan itu tidak kubalas. Aku tidak marah pada Jihan, lebih tepatnya aku kecewa dengan ucapan yang dia lontarkan waktu itu. Lalu, dia meminta maaf yang menandakan dia sadar dengan apa yang dia lakukan.
Sedangkan Junot... dia mengikuti apa yang aku katakan. Dia tidak menghubungiku sama sekali. Ah, sepertinya aku keliru. Karena setelah kembali padanya dulu, yang selalu menghubunginnya duluan adalah aku. Dia tidak pernah mengirim pesan atau menelfon seperti sebelum aku tahu dia mencintai sahabatku.
Sakit sebenarnya mengingat usahaku yang sia-sia. Jika diputar ulang, bayangan kebodohanku memang sudah tidak bisa diobati lagi.
Biarlah hati ini masih meraung kesakitan. Sembuh perlu waktu dan waktu adalah obat.
Tapi, sekarang kemungkinan besar aku harus bertatap muka dengan orang yang membuat aku tersakiti. Semalaman aku memikirkan banyak adegan jika aku bertemu dengan Junot. Karena itu aku jadi kurang tidur dan wajahku terlihat lebih lelah.
Aku menarik nafas kuat saat tanganku tiba-tiba ditarik menjauh dari kerumunan wisudawan. Aku langsung panik saat tahu siapa yang menarikku menjauh.
Tangan besar yang jarang menyentuhku itu mencengkramku dengan kuat. Dari belakang aku bisa menatap bahu lebarnya yang membawaku terburu-buru ke lorong gedung yang sepi.
"Kenapa nggak hubungin aku?"
Mataku mengerjap memastikan pertanyaannya tertuju padaku. Tonggorokanku mendadak serak diikuti irama jantung yang tak wajar.
Aku memalingkan wajah. "Buat apa?" Balasku lirih.
"Buat apa? Oh... jadi kamu serius minta udahan sama aku?"
Apa Junot menganggap itu hanya candaan? Apa tangisku saat di bandara hanya angin lewat yang tak bisa dianggap serius?
Mungkin aku harus banyak menyadarkan diri jika seluruh air mata yang pernah tumpah untukknya tidak pernah berarti apa-apa.
"Iya." Angguku pelan.
"Kamu yakin mau putus sama aku?" Nada suaranya terdengar mengejek.
Awalnya aku memang tidak yakin. Tapi, memilih menyerah sekarang adalah waktu yang tepat. "Aku yakin."
"Kalo kamu lupa, kamu yang ngerengek minta balikan sama aku. Kamu yang setuju nggak masalah sama siapa yang aku suka. Terus, baru lihat aku dekat sama Jihan lagi kamu langsung minta putus?" Kekehnya menganggap semuanya hanya lawakan untuknya. "Pikir lagi, Tha. Nggak selamanya aku bakal iyain setiap ajakan balikan kamu."
Aku membalas tatapannya yang tajam kearahku.
Aku tidak mau bohong kalau sampai detik ini hatiku masih miliknya. Tapi, aku lelah menanggung cinta sendirian.