Hari sudah sore ketika aku bangun tidur siang, dan aku ingat ada janji sama Ningsih ngantar ke bank. Aku pun keluar kamar dengan memakai celana kolor selutut untuk sikat gigi sama cuci muka. Setelah itu aku memakai kaos dan jaket lanjut memanaskan motor tuaku c-70 jenis bebek. Ohh ya ini motor udah dari jaman aku masih muda.
"Ayah mau ke mana?" Yuni.
"Ehhh ada Yuni, mau ke toko tembakau ndug, mau nitip?" Aku.
"Nitip ini aja yah, muach" Yuni.
Aku berdiri mematung karena tiba-tiba pipiku di cium Yuni, ketika sadar Yuni sudah berlari pelan masuk ke rumah. Aku berdiri bengon sambil naik ke jok motorku, ku gelengkan kepalaku karena teringat bayangan pipi Yuni yang memerah. Aku jalankan motor pelan berangakat ke bank karena Yuni sudah menunggu.
Sambil jalan pelan karena motorku yang cuma mesin 75cc lumayanlah dari pada jalan. Di jalanan dusun bayak yang menyapaku dengan senyum atau menundukan kepala mereka, dari yang muda sampai bapak-bapak. Satu peraturan nggak tertulis di dusunku, kalau mau nakal jangan di dusun tapi di luar sana, kayak nyuri ataupun lainya.
Jadi jangan lihat kalau di kampung dia baik dan ramah siapa tahu di luar terkenal preman? Yah nggak usah jauh-jauh aku cotohnya. Lama aku hidup di kota membuatku tahu akan kekejaman hidup sana. Dengan ilmu beladiriku aku akhirnya bisa kerja kasar di sana yaitu nagih hutang, aku jadi terkenal di sana. Karena melamun aku hampir nambrak ayam untung ayamnya lari.
"Ihhh mas kalau jalan jangan ngelamun dong" Ningsih.
"Ehhh Ningsih kamu bikin kaget aja" Aku.
"Ngelamunin apa sih mas?" Ningsih.
"Ngelamunin Nigsihlah" Aku.
"Ihhh mas genitnya keluar deh" Ningsih.
"Yuk naik" Aku.
"Ke mana mas?" Ningsih.
"Ke semak-semak aja" Aku.
"Gatellah mas" Ningsih.
Aku dan Ningsih pun berangkat ke kota yang ada banknya tempat Ningsih menambung. Ningsih duduk menyanping karena ia memakai rok panjang selutut dan juga baju kuning seperti kemarin namun beda model. Tangan Ningsih melingkar ke perutku. Sesampainya di bank, Ningsih masuk sementara aku nunggu di luar.
15 menit kemudian Ningsih keluar dengan senyum manisnya yang bikin pria meleleh dompetnya, kecuali aku tentunya. Lengak-lengok pinggulnya bikin mata mengikutinya, dadanya yang membusung bergerak goyang-goyang bikin tangan geregetan mau nambahin goyanganya. Wajah Ningsih manis tersenyum tipis membuat hati kita seperti lagi naik rolercoster.
"Yuk mas kita ke hotel jangan ke semak-semak ya? Hihihi" Ningsih.
"Ngapain ke hotel?" Aku.
"Ngentot mas" Ningsih.
"Berangkat" Aku.
Kini Ningsih duduk di motorku seperti tadi tapi lebih mepet lagi ke depan sehingga toketnya tergencet punggungku. Tangan kirinya jalan-jalan lewat bawah jaket masuk ke perutku. Tujuan kami ke sebuah rumah makan nasi goreng jawa gazebo yang letaknya agak jauh di pinggiran kota. Aku ajak ke sana karena yang jualan adalah temanku asalnya dari medan.
"Mas ini tempatnya?" Ningsih.
"Iya gimana?" Aku.
"Bagus sih mas" Ningsih.
"Kok ada sihnya?" Aku.
"Ya kan Ning belum cobain masakan sini" Ningsih.
"Nih ya aku kasih tau, ini kan nasi goreng jawa tapi yang jualan malah orang medan, hebat kan?" Aku.