Happy Reading
***
"Bi Nuri, kita bisa bicara berdua nggak?" tanya Pak Amir setelah majikannya pada tidur dan mereka tengah duduk di dapur saat itu. Dengan Pak Amir tengah menyesap kopinya dan Bi Nuri baru selesai mencuci piring habis makan malam tadi. Sedangkan Mbak Nur sudah pulang dari tadi karena memang dia tiba sore pulang dan itupun cuma tiga kali dalam seminggu.
"Ada apa Pak?" tanya Bi Nuri penasaran lalu duduk didekat Pak Amir yang tengah serius.
"Beberapa hari yang lewat Den Ares juga sama kayak Ibuk Intan, di sana hanya ada saya sama Non Azel. Untung pas itu saya nemu obat Den Ares di kotak obat, kalau enggak saya bakalan pusing mau nenangin Den Ares kayak apa," ujar Pak Amir menghela napas sebentar lalu menatap Bi Nuri kembali.
"Beneran Pak? Astaghfirullah, bahkan den Ares juga kambuh traumanya? Ini bisa gawat Pak kalau dibiarkan, saya yakin memang dia sudah kembali dengan rencana baru lagi." Jawab Bi Nuri dengan perasaan cemasnya.
"Saya juga mikir gitu Bi, tapi kita juga nggak bisa berbuat apa-apa. Kita juga nggak tau posisi dia di mana sekarang dan sekarang apa tujuannya untuk kembali aja kita nggak tau." Angguk Pak Amir menyetujui perkataan Bi Nuri, lalu kembali menghela napas cemas dengan keluarga ini.
"Iya Pak, saya kasihan sama Den Ares. Saya takut dia sampe kayak dulu lagi, bahkan jumpa sama Buk Intan saja dia sangat takut. Lagian dia sekarang udah kembali biasa saja, takutnya dia beneran kayak dulu lagi." Sedih Bu Nuri dengan kepala menunduk memkirkan anak majikannya yang sudah dia rawat dari lahir itu.
"Sama Bi, mana kemarin Non Azel ikutan khawatir sama Pen Ares pas dia ke sini. Bukannya diacuhkan Den Ares, Non Azel malah diusir Bi." Jawab Pak Amir ikut kasihan.
"Kita nggak boleh lalai jagain Den Ares, kita usaha buat dia tetap biasa saja. Semoga aja kemarin cuma kambuh biasa, nggak bakal berlanjut." Tenang Bi Nuri pada Pak Amir yang menggangguk menyetujui.
***
Di tempat lain, di rumah petak yang tidak terlalu besar dan sedikit kumuh itu. Ada laki-laki paruh baya yang tengah terduduk di ruang temaram, sembari menyesap kopi dan sebatang rokok terselip di kedua jarinya.
Dia menghela napasnya perlahan, bersandar di dinding rumah yang sudah terkelupas karena catnya yang telah dimakan usia. Laki-laki itu tampak sendu dengan tatapan mata seakan kosong dan raut wajah seakan terpasang rasa bersalah di sana.
Jelas sekali terpampang di sana kantung mata yang kian hari menjadi hitam, kumis yang sudah terlihat semakin panjang dan rambut yang memanjang tidak terurus. Mata hitam pekat nan tajam itu hanya melihat ke satu arah, berusaha meminta maaf dalam diam, berharap angin lalu menyampaikan kepada seseorang yang dimaksud.
Namun, itu tidak akan mungkin terjadi. Hanya ada kata penyesalan yang terus terulang didalam otak dan hatinya. Sungguh, tiada kata selain itu yang bisa menghentikan pikirannya.
"Huh! Aku seakan mayat hidup, tiga belas tahun aku meninggalkan negara ini. Aku bodoh! Laki-laki bodoh!" ujar pria itu menggertakkan giginya karena begitu menyesal atas apa yang telah dia perbuat.
"Maaf! Aku benar-benar minta maaf kepada kalian, aku tau kata maaf tidak akan mengembalikan semuanya. Tapi, hanya itu yang bisa aku katakan untuk terakhir kalinya." Tambah pria itu lalu terbatuk sembari memegang dadanya yang bertambah sakit.
Dia mematikan rokoknya ke asbak didekatnya, lalu menidurkan tubuhnya di ruangan dingin tanpa beralas kasur empuk atau kain yang tidak akan membuatnya kedinginan. Air mata kembali jatuh membasahi pipinya yang sudah mencekung ke dalam, karena semakin hari tubuhnya yang mengurus.

KAMU SEDANG MEMBACA
AZALEA [Completed]
Teen Fiction⚠️Follow dulu sebelum membaca⚠️ Ini bukan kisah seorang cewek yang berkonflik dengan cowok bad boy, bukan juga kisah cewek yang humble ke semua orang dan berakhir disukai cowok idaman satu sekolah dan bukan juga kisah cewek yang dikejar seorang cowo...